Showing posts with label Waliyullah. Show all posts
Showing posts with label Waliyullah. Show all posts

Wednesday, 16 November 2016

Kisah Karomah Mbah Ma'shum Lasem


Mbah Ma’shum Lasem, Jawa Tengah, adalah ulama besar yang tindakannya sering sulit dicerna nalar awam. Setelah peristiwanya, barulah orang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.
Diperkirakan, Mbah Ma’shum lahir pada tahun 1868. Dia adalah anak bungsu pasangan Ahmad dan Qosimah. Oleh orangtuanya dia kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama, karena sejak kecil diatelah ditinggal wafat oleh ibunya. Dari Kiai Nawai dia mendapat pelajaran dasar ilmu alat (nahwu) yang diambil dari kitab Jurumiyyah dan Imrithi.
Pengembaraannya mencari ilmu tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (Kiai Abdullah, Kiai Abdul Salam, dan Kiai Siroj), Kudus (Kiai Ma’shum dan Kiai Syarofudin), Sarang Rembang (Kiai Umar Harun), Solo (Kiai Idris), Termas (Kiai Dimyati), Semarang (Kiai Ridhwan), Jombang (Kiai Hasyim Asy’ari), Bangkalan (Kiai Kholil), hingga Makkah (Kiai Mahfudz At-Turmusi), dan kota-kota lain.
Suatu saat, di Semarang, dia tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Ketika di Bojonegoro, dia tidak hanya bermimpi, melainkan, antara tertidur dan terjaga, dia bertemu dengan Nabi, yang memberikan ungkapan La khayra ilia fi nasyr al-ilmi, yang artinya “Tidak ada kebaikan (yang lebih utama) daripada menyebarkan ilmu”. 
Di rumahnya sendiri, dia bermimpi kembali. Dalam mimpinya, ia bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW, yang berpesan, “Mengajarlah, segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”
Di kemudian hari, Mbah Ma’shum menjadi ulama besar yang dikenal memiliki banyak karamah. Inilah beberapa kisah karamahnya:

·        Walisongo Bertamu
Ada satu kisah karamah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum.
Namun, karena tuan rumah sedang tidur, Ahmad, seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan. Ternyata mereka menolak.
Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan.
“Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?” tanya Ahmad sekali lagi.
“Tidak usah,” ujar me­reka serempak lalu pergi.
Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi.
Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya.
Tapi apa lacur, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum.
Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, Mbah Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisanga dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel.
Setelah mengucapkan kalimat terse­but, Mbah Ma’shum tertidur pulas lagi.

·        Beras Melimpah
Di depan para cucunya, Mbah Ma’shum memimpin pembacaan istighatsah dan membaca potongan syair Al-Burdah yang artinya, “Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat untuk mencari perlindungan kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka nan besar nanti.”
Syair tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.”
Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.”
Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….”
Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan, ke tempat Mbah Ma’shum.
Masih soal beras. Pada kali yang lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, Mbah Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis.
“Ya Allah, Gusti, saya minta beras….”
“Amin…,” ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum, khidmat menyambung doanya.
Jam sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung be­ras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah Banyuwangi.
Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.
Suatu saat ketika berkunjung ke Banyuwangi, Mbah Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir- hampir tak ada yang kelebihan rizqi. Lalu siapa yang mengirim beras?
“DuaTahun Lagi Saya Menyusul”
“Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusui dua tahun kemudian,” demikian reaksi Mbah Ma’shum ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari itu, 11 Desember 1970.
Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusui.”
Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum’at di masjid jami’ Lasem, tak jauh dari rumahnya.
Persis seperti ucapannya, menyusui dua tahun setelah pamandanya wafat.

·        Mengajar atau Menolong Orang juga “Dzikir”
Kisah lain, sambil memijit badan Mbah Ma’shum, Abrori Akhwan, yang kala itu, awal dekade 1960-an, masih menjadi santri di pesantren Mbah Ma’shum, Al-Hidayat, dalam benaknya terlintas pertanyaan, kenapa Mbah Ma’shum tak pernah menggunakan peci haji atau sorban bila keluar rumah, tidak pernah berdzikir dalam waktu yang lama, dan tidak banyak kitab kuning di rumahnya.
Pikiran itu rupanya terbaca oleh Mbah Ma’shum. Tak lama kemudian, ia berujar,
“Seorang kiai tidak harus meng­gunakan peci haji atau sorban. ‘Berdzikir’ kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktek, seperti misalnya kita mengajar atau menolong orang, tidak harus dalam waktu lama dengan bebe­rapa bacaan tertentu. Kitab kuning sebenarnya banyak, tapi dipinjam oleh Ali, anak sulungku.”

·        Insya Allah akan Kembali
Ketika dalam perjalanan silaturahim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mbah Ma’shum kehilangan kacamata di kereta api yang tengah meluncur, antara Tegal dan Pekalongan. Menyadari hal itu, ia kemudian mengajak para pengikutnya membaca surah Adh-Dhuha. Dan ketika sampai ayat wawajadaka dhaallam fahada, ayat tersebut dibaca delapan kali.
“Dengan membaca surah tersebut, insya Allah barang kita yang hilang akan kembali. Setidaknya Allah akan memberikan ganti yang sesuai,” katanya kemudian.
Ketika rombongan mampir ke rumah Kiai Faturrahman di Kebumen, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata di lemari kaca tuan rumah, persis miliknya yang hilang. Dengan spontan ia berkata, “Alhamdulillah.”
Kepada Faturrahman, ia bertanya, “Apa ini kacamata saya?
Dijawab Kiai Faturrahman dengan terbata-bata, “Ya mungkin saja, Mbah….”
Kemudian kacamata itu diambil dan dipakai oleh Mbah Ma’shum.

·        Kendaraan Soal Belakang
Kali ini soal dokar. Santri yang mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. Se­telah maghrib, sudah menjadi kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang berani keluar ke­cuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma’shum berkata, “Shalat dulu, kendaraan soal belakang.”
Ketika itu rombongan Mbah Ma’shum sudah sampai di sebuah mushalla. Maka shalatlah mereka secara berjama’ah. Bahkan dilanjutkan hingga shalat Isya.

Setelah semua selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari halaman mushalla, lewatlah sebuah do­kar kosong. Mereka pun menaikinya. 

Kisah Kesaktian Sunan Muria


Sunan muria adalah wali yang terkenal memiliki kesaktian. Ia memiliki fisik yang kuat karena sering naik turun gunung muria yang tingginya sekitar 750 meter. Bayangkan, jika ia dan istrinya atau muridnya harus naik turun gunung setiap hari untuk menyebarkan agama islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hak itu tidak dapat dilakukannya tenpa fisik yang kuat.
Bukti bahwa sunan muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah perkawinan sunan murida dengan dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, yang bertempat tinggal di juana, pati jawa tengah. Demikian sakti sunan ngerang sehingga sunan muria dan sunan kudus sampai berguru kepadanya.
Dalam cerita sunan muria, pada suatu hari, sunan ngerang mengadakan syukuran atas usia dewi roroyono yang telah genang dua puluh tahun. Semua muridnya diundang, seperti sunan muria, sunan kudus, adipati pathak warak, kapa dan adiknya gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak saudara yang dari jauh. Setelah tamu berkumpul, dewi Roroyono dan adiknya, dewi roro pujiwati, keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah para dara yang cantik rupawan, terutama dewi roroyono yang bersuaia dua puluh tahun. Ia bagaikan bunga yang sedang mekar.
Bagi sunan kudus dan sunan muria yang sudah berbekal ilmu agama, dapat menahan pandangan mata, sehingga mereka tidak terseret oleh godaan setan. Tapi, seorang murid sunan ngerang yang lain, yaitu Adipati Pathak warak memandang dewi royoyono dengan mata tidak berkedip karena melihat kecantikan gadis itu.
Sewaktu menjadi cantrik atau murid sunan ngerang ketika pathak warak belum menjadi adipati, dewi roroyono masih kecil dan kecantikannya yang mempesonan belum tampak. Tetapi, sekarang, gadis itu sangat membuat adipati pathak warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus. Akibat dibakar api asmara yang menggelora, ia tidak tahan lagi. Ia pun menggoda dewi roroyono dengan berbagai ucapan yang tidak pantas, bahkan bertindak kurang ajar.
Tentu saja, dewi merasa malu sekali, terutama ketika adipati pathak warak berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian tubuhnya yang tidak pantas disentuh. Si gadis pun naik pitam, sehingga nampan berisi minuman yang dibawahnya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati. Maka adipati pathak warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi ia pun semakin malu karena melihat para tamu menetawakan kekonyolan.
Dewi Roroyono hampir saja ditampar oleh adipati pathak warak kalau ia tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya. Lalu, Dewi Rorooyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh pathak warak. Pada malam hari, para tamu yang rumahnya dekat sudah pulang ke tempat masing-masing. Adapun tamu yang datang dari jauh terpaksa menginap di rumah sunan ngerang, termasuk pathak warak san sunan murid. Namun, pathak warak belum dapat memejamkan matanya hingga lewat tengah malam. Kemudian, ia bangkit dari tidurnya dan mengendap-ngedap ke kamar dewi roroyono.
Dewi roroyono dibius sehingga tak sadarkan diri, kemudian pathak warak turun melewati genteng dan mebawanya lari menuruni jendela. Dewo Roroyono dibawa lari ke mandalika, wilayah keling atau kediri. Setelah sunan ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh pathak warak, maka ia berikrar bahwa orang yang berhasil membawa putrinya bila perempuan akan dijadikan saudara dewi roroyono. Dan jika laki-laki akan dijodohkan dengan putrinya.
Tak ada seorang pun yang menyatakan kesanggupannya. Sebab, semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman pathak warak. Hanya sunan muria yang bersedia memenuhi harapan sunan ngerang.
“saya akan berusaha mengambil diajeng Roroyono dari tangan pathak warak,” kata sunan muria
Di tengah perjalanan, sunan muria bertemu dengan kapa dan gentiri, adik seperguruan, yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Keduanya merasa heram melihat sunan muria berlari cepat menuju ke arah daerah keling.
“Mengapa kakang tampak tergesa-gesa?” tanya kapa
Sunan muria pun menceritakan penculikan dewi roroyono yang dilakukan oleh pathak warak. Kapa dan gentiri sangat menghormati sunan muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Lantas, keduanya menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali dewi Roroyono.
“Sebaiknya, kakang pulang ke padepokan gunung Muria. Para murid sangat membutuhkan bimbingan kakang. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng roroyono kembali. Kalau berhasil, kakang tetap berhak menikahnya, kami hanya membantu,” kata kapa.
“Aku masih sanggung merebutnya sendiri,” ujar sunan muria
“Itu benar, tapi, membimbing orang memperdalam agama islam juga lebih penting, percalah, kami pasti sanggup merebutnya kembali” kata kapa bersikeras
Akhirnya, sunan muria mengambulkan permintaan adik seperguruannya. Ia merasa tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula, ia harus menengok para santrinya di padepokan gunung muria. Untuk merebut dewi roroyono dari tangan pathak warak, ternyata kapa dan gentiri meminta bantuan seorang wiku lodhang di pulau sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti dan tidak ada tandingannya. Usaha mereka berhasil sehingga dewi roroyono dikembalikan kepada Sunan Ngerang. Hari berikutnya, sunan muria hendak pergi menghadap sunan ngerang untuk mengetahui perkembangan usaha kapa dan gentri. Di tengah perjalanan, ia bertemua dengan adipati Pathak warak.
“hai pahtak warak, berhenti kamu” bentak sunan muria
Patahak warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena sunan muris menghadang di depannya.
“Minggi, jangan menghalangi jalanku! Hardik pathak warak
“Boleh asal kamu kebalikan Dewo Roroyono”
“Goblok! Roroyono sudah di bawa kapa dan gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka”! umpat pathak warak.
“untuk apa kamu mengejar merek?”
“merebutnya kembali” jawab pathak warak dengan sengit
“Kalau begitu langkahi dulu mayatku, roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar sunan muria sambil pasang kuda-kuda, tanpa basa basi maka pathak warak melompat dari punggung kuda. Ia menyerang sunan muria dengan jus cakar harimau. Tapi, ia bukan tandingan putra sunan kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan, pathak warak telah jatuh atau roboh di tanah. Seluruh kesaktiannya lenyap, bahkan ia menjadi lumpuh dan tidak mampu untuk berdiri apalagi berjalan.
Sunan muria pun meneruskan perjalanan ke juana. Kedatangannya disambut gembira oleh sunan ngerang. Sebab, kapa dan gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendiri yang memaksa mengambil alih tugas sunan muria mencari roroyono. Pada akhirnya, sunan ngerang menjodohkan dewi roroyono dengan sunan muria.
Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri berjasa besar diberi hadiah tanah di desa buntar. Dengan hadiah itu keduanya menjadi orang kaya yang kehidupan mereka serba kecukupan. Sementara itu, sunan muria segera memboyong istrinya ke padepokan gunung muria. Mereka hidup bahagia karena merupakan pasangan ideal.
Tidak demikian halnya dengan kapa dan gentiri. Sewaktu membawa dewi roroyono dari keling ke ngarang, agarknya mereka terlanjut terpesonan oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang dan malam, mereka tidak dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun, wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya sehingga mereka tidak dapat berbuat apapun.
Hanya penyesalan yang menghujam di dada mereka. Mengapa dulu mereka terburu-buru menawarkan jasa baik mereka? Betapa enak sunan muria sekarang tanpa bersusah payah, ia telah menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan mata dan menjaga kehormatan mereka. Adai kata kapa dan gentiri tidak menatap terus ke arah wajah dant ubuh dewi roroyono yang indah, mereka pasti tidak akan terpesonan dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkat pada pandangan mata.
Kini, kapa dan gentiri telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak merebut dewi roroyono dari tangan sunan muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikanya sebagai sitri kedua secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri beerangkat terlebih dulu ke gunung muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya, justru kepergok oleh para murid sunan muria sehingga terjadi pertempuran dahsyat. Suasana menjadi panas ketika sunan muria keluar menghdapati gentiri. Akhirnya, gentiri tewas menemui ajalnya di puncak gunung muria.
Kematian gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi, berita itu tidak membuat surut niat kapa. Sebab, kapa cukup cerdik sehingga ia datang ke gunung muria secara diam-diam di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya. Pada saat itu, kebetulan sunan muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke demak bintoro. Kapa membius para murid sunan muria yang berilmu rendah yang ditugaskan menjaga dewi roroyono, kemudian kapa menculik dan membawa wanita impiannya ke pulai sprapat dengan mudah.
Pada saat yang sama, sunan muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau sprapat sepulang dari demak bintoro. Ini biasa dilakukannya, yakni bersahabat dengan pemeluk agama lain. Dan, itu bukanlah suatu dosa, terlebih lagi sang wiku pernah menolongnya merebut dewi roroyono dari pihak pathak warak.
Seperti ajaran sunan kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Sunan muria pun menunjukkan akhlak islam yang mulia dan agung. Sunan muria bukan berdebat tentang perbedaan agama itu. Dengan menerapkan akhlak yang mulia itu, banyak pemeluk agama lain yang akhirnya tertarik dan masuk islam secara suka rela. Sementara itu, kedatangan kapa ke pulau sprapat ternyata tidak disambut baik oleh wiku lodhang datuk.
Memalukan, benar benar nista perbuatanmu itu, cepat kembalikan istri kakanda seperguruanmu! Hardik wiku lodhang datuk dengan marah.
“bagaimana bapa guru ini? Bukankah aku ini adalah muridmu? Mengapa kamu tidak membelaku? Protes kapa.
“Apa? Membela perbuatan durjana?” bentak wiku lodhank datuk
“sampai mati pun, aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti, walaupun pelakunya itu muridku sendiri!” katanya
Perdebatan antara guru dan murid tersebut berlangsung lama. Tanpa mereka sadari, ternyata sunan muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejut ketika sunan muria melihat istrinya sedang tergolek di tangah dengan kaki dan tangan terikat. Sementara itu, ia juga melihat kapa sedang bertengkar dengan gurunya yaitu Wiku lodhang datuk. Lalu, wiku loadhang melangkah menuju dewi roroyono untuk membebaskannya dari belenggu yang dilakukan oleh kapa.
Ketika sang wiku selesai membuka tali yang mengikat tubuh dewi roroyono, tiba tiba terdengar jeritan keras dari mulut kapa secara bersamaan. Ternyata serangan yang dilakukan kapa dengan mengerahkan aji kesaktian berbalik menghantam dirinya sendiri. Itula ilmu yang dimiliki sunan muria. Ia mampu mengembalikan serangan lawan. Sebab, kapa mempergunakan aji pamungkas, yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya, maka ilmu itu akhirnya merengut nyawanya sendiri.
“Maafkan saya Tuan wiki,” sunan muria agak menyesal
“tidak mengapa, ia sudah sepantasnya menerima hukuman ini. Aku sangat menyesal karena telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata, lmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” gumam sang wiku.
Dengan langkah gontai, sang wiku mengangkat jenazah muridnya. Kapa adalah muridnya apaun yang terjadi. Pantaslah, kalau ia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya, dewi roroyono dan sunan muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.

Sunday, 13 November 2016

Kisah Karomah Kiai Kholil Bangkalan


Kiai Muhammad Kholil Bangkalan adalah satu ulama kharismatik di wilayah Jawa Timur, dia adalah guru dari para ulama besar seperti Kiai Mashum Lasem, Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng, Kiai Wahab Hasbullah Tambakberas dan Kiai Bahar Sidogiri. Kiai Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan,  Madura, Jawa Timur dengan nama Muhammad Kholil. 
Dia merupakan putera dari KH Abdul Lathif . Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Muhammad Kholil belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan dia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian pindah ke Ponpes Keboncandi. 
Selama belajar di pondok-pesantren ini dia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri. Lalu M Kholil menimba ilmu di Mekkah selama belasan tahun. Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Muhammad Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.  
Karena Kiai Muhammad Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekkah, maka sewaktu pulang, dia terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, KH Muhammad Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Sesuai dengan keadaan dia sewaktu pulang dari Mekkah telah berumur lanjut, tentunya Kiai Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasuhnya untuk berjuang melawan penjajah. 
Kiai Muhammad Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Ketika Belanda mengetahuinya, Kiai Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. 
Tetapi, ditangkapnya Kiai Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda; karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti. Seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Kholil untuk dibebaskan saja.
Salah satu karomah sang kiai yang diyakini para santrinya hingga kini yaitu saat bertempur melawan Belanda. Kiai Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, para pejuang gantian menghantam pihak kompeni. 
Kesaktian lain dari Kiai Kholil, adalah kemampuannya menjadi dua. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup sehingga para santri heran. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. 
Ada seorang nelayan sowan ke Kiai Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Kiai Kholil.
Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Kiai Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu.
Karomah lainnya saat Kiai Muntaha, mantu Kiai Kholil, membangun masjid di pesantrennya, dan pembangunan masjid tersebut hampir rampung. 
Suatu hari, masjid yang hampir rampung itu dilihat oleh Kiai Kholil, menurut pandangan Kiai Kholil, ternyata masjid itu terdapat kesalahan dalam posisi kiblat.
“Muntaha, arah kiblat masjidmu ini masih belum tepat, ubahlah,” ucap Kiai Kholil mengingatkan mantunya yang alim itu. Sebagai seorang alim, Kiai Muntaha tidak percaya begitu saja. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk memperkuat pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar, melihat mantunya tidak ada-ada tanda-tanda menerima nasehatnya, Kiai Kholil tersenyum sambil berjalan ke arah masjid.
Sementara Kiai Muntaha mengikuti di belakangnya. Sesampainya di ruang pengimaman, Kiai Kholil mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding tembok arah kiblat.
“Muntaha, coba kau lihat lubang ini, bagaimana posisi arah kiblatmu,” kata Kiai Kholil sambil memperhatikan mantunya bergegas mendekatkan matanya ke lubang itu, betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah melihat dinding itu. Tak diduganya, lubang yang kecil itu ternyata Kakbah yang berada di Makkah dapat dilihat dengan jelas dihadapannya.
Maka, sadarlah Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat masjid yang diyakininya benar selama ini terdapat kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata terlalu miring ke kanan. Kiai Kholil benar, sejak saat itu, Kiai Muntaha mau mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat dalam lubang tadi.
Pada suatu hari, Kiai Kholil mendapat undangan di pelosok Bangkalan . Hari jadi yang ditentukan pun tiba. Para undangan yang berasal dari berbagai daerah berdatangan. Semua tamu ditempatkan di ruang tamu yang cukup besar.
Walaupun para tamu sudah datang semua, acara nampaknya belum ada tanda-tanda dimulai. Menunggu acara belum dimulai salah seorang tamu tidak sabar lagi. Lalu Fulan yang dikenal sebagai jagoan di daerah itu, berdiri lalu berkata, “Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum dimulai," kata si jagoan sambil membentak.
Bersamaan dengan itu datang sebuah dokar, siapa lagi kalau bukan Kiai Kholil yang ditunggu-tunggu.“Assalamu’alaikum”, ucap Kiai Kholil sambil menginjakkan kakinya ke lantai tangga paling bawah rumah besar itu.
Bersamaan dengan injakan kaki Kiai Kholil, gemparlah semua undangan yang hadir. Serta-merta rumah menjadi miring.
Para undangan tercekam tidak berani menatap Kiai Kholil. Si fulan yang terkenal jagoan itu ketakutan, nyalinya menjadi kecil melihat kejadian yang selama hidup baru dialami saat itu.

Setelah beberapa saat kejadian itu berlangsung kiai mengangkat kakinya. Seketika itu, rumah yang miring menjadi tegak seperti sedia kala. Maka berhamburanlah para undangan yang menyambut dan menyalami Kiai Kholil.

Monday, 7 November 2016

Kisah Sunan Giri


·        Asal Usul Sunan Giri


Sunan Giri adalah putra syekh maulana ishaq, seorang ulama dari gujarat yang menetap di pasai, yang kini bernama aceh. Ibunya bernama dewi sekardadu, putri raja hindu blambangan, jawa timur, yang bernama prabu menak sembuyu. Kisah sunan giri bermula ketika maulana ishaq tertarik untuk mengunjungi jawa timur karena ingin menyebarkan agama islam. setelah bertemu dengan sunan ampel yang masih sepupunya, maka ia disarankan berdakwah di daerah blambangan, sebelah selatan banyuwangi, jawa timur. Ketika itu, masyarakat blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri raja blambangan, dewi sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Asal usul sunan giri – Akhirnya, sang raja mengumumkan sebuah sayembara. “Barang siapa yang berhasil mengobati sang dewi, jika seorang laki-laki maka ia akan dijodohkan dengannya. Jika perempuan maka ia akan dijadikan saudara angkat sang dewi” katanya
Tadi, tidak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus bajul sengara mencari pertapa sakti. Dalam pencarian itu, sang patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti yang bernama resi kandayana. Dan, resi inilah yang memberi informasi tentang syekh maulana ishaq. Rupanya, maulana ishaq mau mengobati dewi sekardadu, jika prabu menak sembuyu dan keluarganya bersedia masuk islam.
Setelah dewi sekardadu sembuh, syarat maulana ishaq pun dipenuhi. Seluruh keluarga raja memeluk agama islam. Setelah itu dewi, sekardadu dinikahkan dengan maulana ishaq. Sayangnya, prabu menak sembuyu tidak menjadi seorang muslim dengan sepenuh hati. ia malah iri menyaksikan maulana ishaq berhasil meng Islam kan sebagian besar rakyatnya. Lalu ia berusaha menghalangi syiar islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh maulana ishaq.
Pada akhirnya, maulana ishaq meninggalkan blambangan dan kembali ke pasai, aceh, karena merasa jiwanya terganggu. Sebelum berangkat ia hanya berpesan kepada dewi sekardadu yang sedang mengandung tujuh bulan agar anaknya diberi nama raden paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, prabu menak sembuyu melampiskan kebenciannya kepada anak maulana ishaq dengan membuatnya ke lau dalam sebuah peti.
Menurut buku kisah teladan wali songo, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari gresik yang sedan menuju pulau bali. Bayi tersebut kemudian diserahkan kepada nyai ageng pinatih, pemiliki kapal tersebut. Maka, bayi yang kelak dikenal sebagia Sunan giri dijadikan anak angkat nyai ageng pinatih, seorang saudagar kaya raya, dari gresik.
Sejak saat itu, bayi laki laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkan oleh Nyi Ageng pinatih. Joko samudro yang menginjak usia tujuh tahun dititipkan di padepokan Sunan Ampel di surabaya untuk belajar agama islam. Lalu, anak itu diberi gelar oleh Sunan Ampel dengan sebutan “Maulana ainul yaqin” karena kecerdasannya.
Setelah bertahun tahun belajar agama di padepokan, joko samudro dan putra sunan ampel, raden maulana makhdum ibrahim (sunan bonang), diutus sunan ampel untuk menimba ilmu di makka. Tapi, mereka harus singgah terlebih dahulu untuk menemui syekh maulana ishaq, yang sesungguhnya ayah dari joko samudro atau raden paku.
Ternyata, Sunan Ampel ingin mempertemukan raden paku dengan ayah kandungnya. Akhirnya, ayah dan anak itu pun bertemu. Setelah belajar selama tujuh tahun di pasai kepada syekh maulana ishaq, mereka kembali ke jawa. Pada saat itulah, maulana ishaq membekali raden paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahanya sama dengan yang diberikannya.

·        Silsilah Sunan Giri
Sunan Giri bin Maulana Ishaq bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Maulana Husin Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin ’Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmat Khan bin ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin ‘Ali Al-’Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Sunan Giri disebutkan memiliki dua orang istri, yaitu Dewi Murtasiah binti Sunan Ampel dan Dewi Wardah binti Ki Ageng Bungkul. Melalui istrinya Dewi Murtasiyah, Sunan Giri memiliki delapan anak, yaitu :
Ratu Gede Kukusan
Sunan Dalem
Sunan Tegalwangi
Nyai Ageng Seluluhur
Sunan Kidul
Ratu Gede Saworasa
Sunan Kulon (Panembahan Kulon)
Sunan Waruju
Sementara dari Dewi Wardah, beliau memiliki dua anak bernama : Pangeran Pasirbata dan Siti Rohbayat.

·        Adipati Blambangan
Di awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agam Hindu dan sebagian ada yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Parbu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya pasalnya puteri mereka satu-satunya jatuh selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang puteri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar hampir keseluruh pelosok  negeri. Tapi sudah berbulan-bulan tidak juga ada yang dapat memenangkan sayembara tersebut.
Permaisuri makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya dengan menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit puterinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal dipuncak lereng-lereng gunung, maka kesanalah tujuan Patih Bajul Sengara.
Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi dinegeri Blambangan.
Patih Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur disebuah goa. Syekh Maulana Ishak mau mengobati puteri Prabu Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama Islam. Syekh Maulana Ishak memang piawai dibidang ilmu kedokteran, puteri Dewi Sekar Dadu sembuh sekali diobati. Wabah penyakit juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.

·        Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan, makin hari semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang memeluk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
Patih Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada agama lama.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak sadar bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan Blambangan.
Akhirnya, pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan isteri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Dua bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senagn dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yag lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju Sengara berulah lagi..
Bayi itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu! Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samudera.

·        Joko Samudra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nahkota memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, meungkinkah perahunya membentur karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tidak berprikemanusiaan.
Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau Bali. Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan digerakkan  kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Dihadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka peti itu. Peti inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang nahkoda.
Bayi…? Bayi siapa ini ? gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Kami menemukannya di tengah samudera selat Bali, jawab nahkoda kapal.
Bayi ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi ini ditemukan di tengah smudera  maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samudra.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama  Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan mendoakan umat agar selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberpa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan Ampel.
Saya Kanjeng Sunan…..ujar Joko Samudra.
Melihat yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samudra.
Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan ditengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi dirumah Nyai Ageng Pinatih.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh  kepada wali besar yang dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.

·        Raden Paku
Sewaktu mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putera Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahu, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan pengetahuan.
Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah samudera dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru pada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan isteri yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan dirinya yang disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana Ainul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.
Kelak, bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun pesantren, demikianlah pesan anahnya.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum Ibrahim  berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.

·        Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan  kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi kali tidak, sesudah kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden paku membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, Raden….kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?
Jangan kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka?
Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.
Itu diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam gelombang dan badai?
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan pulau Banjar akan dibeli.
Paman tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
Memang benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal.
Sebaiknya ibu lihat dulu pinta Raden Paku.
Sudah, jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja hardik Nyai Ageng Pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. Karung-karung itu isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar , kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.

·        Perkawinan Raden Paku
Al-kisah ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya. Setiap kali ada orang yang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja lewat didepan pekarangan  Ki Ageng Supa Bungkul. Begitu ia berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah.
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
Tak usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu. Demikian kata Sunan Ampel.
Tapi…….bukankah saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah ujar Raden Paku.
Tidak mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.
Itulah liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkuk seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar  itu beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.
Atas dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan ampel, tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh nusantara.
Menurut Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan diatas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.

·        Peresmian Mesjid Demak
Dalam peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan Sholat jamaah Jum’at.
Sunan Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelum Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran tidak bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena itu Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah sunan Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan  sholat jum’at kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga.

·        Jasa-jasa Sunan Giri
Jasa yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jaw bahkan ke nusantara.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut  menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah.
Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama.
Di dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan  :
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang gilar-gilar,
Nundhung begog hangetikar.”

(malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil dihalaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)
Maksud dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, dimuka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.

·        Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
1.       Sunan Dalem
2.       Sunan Sedomargi
3.       Sunan Giri Prapen
4.       Sunan Kawis Guwa
5.       Panembahan Ageng Giri
6.       Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7.       Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
8.       Pengeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.

·        Beberapa Karomah Sunan Giri
Raden Paku mengawal kapal dagang Setelah Raden Paku dewasa, ia diperintahkan oleh ibu angkatnya untuk mengawal kapal dagang milik ibu angkatnya ke pulau Kalimantan. Tiga kapal segera berangkat menuju ke pulau Kalimantan dengan dipimpin juragan Abu Hurairah. Setelah tiba di Kalimantan, oleh Raden Paku barang-barang tersebut tidak dijual secara kontan melainkan dihutangkan dalam tempo sepuluh hari. Karena merasa bertanggung jawab dengan barang-barang dagangan ini, Abu Hurairah merasa khawatir karena kebanyakan penduduk setempat kurang dapat dipercaya. Selain itu sebagian barang-barang yang ada oleh Raden Paku dibagikan kepada penduduk setempat yang tidak mampu.
Melihat tindakan Raden Paku yang demikian Abu Hurairah berkat
“Raden, bagaimana nanti bila Nyai Ageng memarahi saya karena tindakan Raden Paku ini ?”
“Tenanglah paman, semua ini menjadi tanggung jawabku” jawab Raden Paku dengan tenang.
“Bagaimana nanti bila saya dipecat?” Tanya Abu Hurairah dengan penuh rasa cemas.
“Kujamin paman tidak akan dipecat.” Jawab Raden Paku untuk menghilangkan kecemasan Abu Hurairah.
Setelah tiba masa pembayaran barang-barang yang dihutangkan tersebut, tidak ada satupun orang yang kelihatan batang hidungnya, alias tidak ada yang membayar. Sementara Abu Hurairah semakin cemas dibuatnya, sebab ia merasa khawatir bila nanti dimarah Nyai Ageng. Namun Raden Paku tetap tenang, dan dalam hati berkat
“Jika begini keadaannya, berarti kekayaan ibuku selama ini tidak bersih, alias masih tercampur dengan harta fakir miskin. Biarlah orang-orang tidak ada yang membayar, itu sebagai zakat yang harus dikeluarkan oleh ibuku”.
“Jika begini keadaannya, tak urung nanti kita dimarahi oleh Nyai Ageng” kata Abu Hurairah. “Tapi bagaimana kita pulang dengan perahu-perahu kosong, bias-bisa nanti perahu menjadi oleng bila diterjang badai, dan kita semua bisa mati tenggelam”. Ucap Raden Paku.
Dalam keberangkatan pulang ke Gresik, Raden Paku menyuruh Abu Hurairah dan anak buahnya untuk mengisi perahu-perahu dengan pasir pantai. Abu Hurairah tidak membantah, dia hanya menggerutu dalam hati, karena apa yang dilakukan oleh Raden Paku itu hanya pantas dikerjakan oleh orang-orang yang tidak waras.
Setibanya di Gresik, hati Abu Hurairah ketar-ketir takut kalau Nyai Ageng marah. Benar dugaan Abu Hurairah si janda kaya itu marah setelah diberi penjelasan oleh Abu Hurairah.
“Cepat panggil Paku kemari” bentak Nyai Ageng.
Raden Paku segera menghadap dan langsung bersimpuh dihadapan ibunya. Nyai Ageng marah-marah terhadap Raden Paku. Namun Raden Paku bersikap tenang tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepada ibunya. Baru setelah ibunya selesai menumpahkan kemarahannya, Raden Paku angkat bicara.
“Wahai ibu, jangan terburu marah, lebih baik lihat dulu sesungguhnya apa isi ketiga perahu tersebut” ujar Raden Paku dengan santun terhadap ibu angkatnya.
“Apa yang harus dilihat, bukankah perahu-perahu itu kau isi dengan pasir laut, Abu Hurairah tidak pernah berbohong kepadaku. Cepat buang pasir itu” Kata Nyai Ageng dengan marah.
“Tenanglah bu, tenanglah, sebaiknya kita lihat dulu apa isinya perahu-perahu tersebut” Kata Raden Paku dengan penuh sopan.
Akhirnya Nyai Ageng menurut apa yang dikatakan Raden Paku. Dia naik keatas perahu dan memeriksa isi karung tersebut. Dengan terkejut ternyata karung-karung tersebut berisikan barang dagangan yang sangat dibutuhkan orang-orang Gresik. Melihat hal demikian, Nyai Ageng segera minta maaf kepada Raden Paku. Sejak saat itulah Nyai Ageng sadar bahwa anaknya telah memiliki karomah yang luar biasa. Dia yakin anaknya nanti akan menjadi orang yang sangat berpengaruh seperti halnya Sunan Ampel. Setelah peristiwa itu, Nyai Ageng insyaf. Dia menjadi orang yang lebih taat dan patuh terhadap segala perintah agama. Sedang Raden Paku sendiri lebih giat dalam menyebarkan agama islam dengan dukungan Sunan Ampel dan bantuan Sunan Bonang. Sehingga agam Islam tersebar luas di wilayah Gresik dan sekitarnya.
Demikianlah keajaiban karomah Sunan Giri dengan izin alloh, karung-karung yang tadinya di isi pasir laut bisa berubah menjadi barang dagangan yang sangat dibutuhkan dan dengan peristiwa itu dapat menyadarkan ibunya yang tadinya pelit.

Sunan Giri menikah dua kali dalam sehari
Konon menurut cerita, Ki Ageng Bungkil mengadakan sayembara, bahwa barang siapa yang dapat memetik buah delima dipekarangannya, dia akan diambil sebagai mantu. Banyak orang mengikuti sayembara itu namun gagal. Raden Paku yang berada di tempat itu mencoba mengikuti sayembara tersebut, padahal esoknya ia akan menikah dengan putri Sunan Ampel bernama Dewi Murtasiah.
Tanpa memanjat, dipandangnya buah delima yang ada dipohon tersebut, tak lama kemudian buah delima tersebut jatuh. Karuan saja para penonton menjadi kagum akan kejadian tersebut, terutama Ki Ageng Bungkul sendiri. Sesuai dengan janjinya, akhirnya Ki Ageng Bungkul menikahkan putrinya Dewi Wardah dengan Raden Paku pada keesokan harinya, dan pada hari itu juga Raden Paku menikah dengan Dewi Murtasiah putri Sunan Ampel.
Sunan Giri mendapat tantangan dari Begawan Minto Semeru seorang pertapa dari Gunung Lawu
Kurang lebih tiga tahun lamanya Sunan Giri mendirikan pondok pesantren yang terletak di gunung giri, termasyurlah nama pondok itu ke seluruh penjuru Pulau Jawa. Dan dalam pada itu, tersebutlah di Gunung Lawu terdapat sebuah padepokan yang dipimpin oleh seorang Begawan sakti bernama Minto Semeru. Konon kabarnya Begawan Minto ini sangat sakti.
Suatu ketika Begawan Minto semeru mendengar nama Sunan Giri yang baru mendirikan padepokan di Gunung Giri. Mendengar hal ini, Begawan Minto merasa tersaingi, karena itu berangkatlah Begawan Minto ke padepokan Giri. Pada saat Begawan Minto tiba, Sunan Giri sedang mengerjakan sholat. Dia hanya bertemu dengan salah satu muridnya yang menjaga pintu gerbang padepokan Giri.
“Dapatkah aku bertemu dengan Sunan Giri?”, Tanya sang Begawan
“Siapakah tuan ini, dan dari mana asalnya?”, Tanya si penjaga gerbang
“Katakan aku ingin bertemu dengan pemimpin padepokan ini”, ujar Begawan Minto tidak serantan.
“Kanjeng Sunan sedang Sholat” sahut penjaga pintu.
“Sudah cepat katakan ada tamu dari jauh ingin bertemu” ujar sang Begawan.
Akhirnya penjaga pintu gerbang itu segera menemui Kanjeng Sunan di tempat sholat. Kebetulan kanjeng sunan sudah selesai sholat.
“Ada apa muridku?” Tanya Kanjeng Sunan.
“Ada seorang tamu dari jauh ingin bertemu dengan Kanjeng Sunan” jawab muridnya dengan santun.
“Suruh dia masuk” ujar Kanjeng Sunan.
Akhirnya murid Kanjeng Sunan tersebut menemui sang Begawan tersebut seraya mengajaknya masuk kedalam lingkungan pesantren. Sementara Sunan Giri menyambut kedatangannya dengan ramah, sedikitpun tak ada kecurigaan bahwa kedatangan sang Begawan untuk mengajak adu kesaktian.
“Kisanak ini berasal dari mana?” Tanya Kanjeng Sunan seraya hendak berkenalan.
“Namaku Begawan Minto Semeru, datang dari Gunung Lawu. Aku mendengar berita bahwa tuan adalah guru besar padepokan Gunung Giri, seorang guru sakti berilmu tinggi. Terus terang saja, kedatanganku kemari ingin mencoba kesaktian tuan guru” ujar Begawan Minto dengan mantap.
“Mencoba kesaktianku?” Tanya Kanjeng Sunan.
“Ya, bila nanti aku yang kalah, aku bersedia mengabdi kepada tuan guru sebagai murid. Dan bila tuan guru yang kalah, maka akan kupenggal leher tuan guru agar di tanah Jawa ini tidak ada seorang pun yang dianggap sakti kecuali aku” kata Begawan Semeru dengan yakin.
“Ketahuilah kisanak, bahwa semua yang ada dialam semesta ini adalah kepunyaan Allah, dia Maha Kuasa lagi Maha Sakti. Karena itu jika kisanak hendak mengalahkan aku dan memenggal leherku, maka jika Tuhan tidak menghendaki, sejuta orang seperti kisanak pun tidak akan mampu melaksanakannya”, ujar Kanjeng Sunan dengan sopan.
“Jelasnya tuan guru telah menerima tantanganku”, ujar Begawan Minto.
“Silahkan bila tuan ingin mencoba ilmu ciptaan Tuhan kepadaku”, sahut Kanjeng Sunan.
Kedua orang itu kemudian keluar dari lingkungan Pesantren menuju lapangan luas dan saling berhadapan.
“Sebelum memulai pertarungan, marilah kita main tebak dahulu, aku akan mengubur binatang di atas Gunung Pertukangan, tuan tinggal menebak binatang apa yang aku kubur itu?”, kata sang Begawan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Silakan”. Sahut Kanjeng Sunan.
Dengan gerakan cepat, Begawan Minto Semeru melesat menuju Gunung Pertukangan. Di sana dia menciptakan dua ekor angsa, jantan dan betina, lalu kedua angsa itu dikubur hidup-hidup. Setelah selesai dia kembali ke tempat semula Kanjeng Sunan berada.
“Nah, binatang apa yang saya kubur di gunung itu tuan guru?” Tanya sang Begawan serasa mengejek.
“Yang tuan kubur itu adalah sepasang ular naga” jawab Kanjeng Sunan kalem.
Serentak Begawan Minto tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban sunan seraya berkata “tebakan tuan salah, salah besar”. Selanjutnya sang Begawan berkata ”yang saya kubur adalah sepasang angsa”.
“Apa tuan tidak salah lihat, sebaiknya tuan kembali dan bongkarlah apa yang tuan kubur itu”. Kata Kanjeng Sunan meyakinkan.
“Justru tuanlah yang harus melihatnya, agar tuan menerima kekalahan tuan, sahut sang Begawan.
“Kalau begitu marilah kita lihat bersama-sama” kata Kanjeng Sunan.
Hanya beberapa kejap mata, kedua orang itu tiba di Gunung Pertukangan. Begawan Minto Semeru membongkar binatang ciptaannya yang dikubur itu. Tiba-tiba keluarlah sepasang ular naga. Sang Begawan terkejut seraya bergumam “Kali ini aku kalah, tapi awas untuk yang kedua kalinya”.
Berkali-kali sang Begawan mengeluarkan ilmu kesaktiannya, dan berkali-kali pula ia tidak dapat mengalahkan ilmu Kanjeng Sunan, hingga akhirnya sang Begawan mengeluarkan ilmu andalannya.
Sang Begawan melepaskan ikat kepalanya, lalu dilemparkan ke udara dengan ilmu andalannya, ikat kepala itu melesat ke udara dengan kecepatan yang sulit dipandang mata. Namun Kanjeng Sunan tidak tinggal diam, dilemparkan pula sorbannya dan melesat ke udara memburu ikat kepala sang Begawan. Sorban Kanjeng Sunan dapat menyusul ikat kepala sang Begawan bahkan dapat menumpangi ikat kepala Begawan Minto Semeru. Dengan lambaian tangan Kanjeng Sunan, kedua benda itu meluncur kebawah, dan tepat jatuh dihadapan sang Begawan. Sorban Kanjeng Sunan tetap berada diatas, sementara ikat kepala sang Begawan berada di bawah. Hal tersebut menandakan bahwa sang Begawan tetap kalah. Sang Begawan semakin penasaran, dicobanya adu kesaktian sekali lagi. Sang Begawan menciptakan beberapa butir telur. Telur-telur itu disusunnya dari bawah ke atas. Anehnya, telur-telur itu tidak jatuh. Melihat permainan itu, Kanjeng Sunan tidak mau kalah. Telur-telur itu diambilnya satu persatu dari bawah, dan lebih aneh lagi, telur-telur itu tidak jatuh ke bawah hingga telur itu dapat diambil semuanya.
Dengan diliputi rasa malu di hadapan para penonton, akhirnya sang Begawan Minto mengajak duel Kanjeng Sunan dengan jurus-jurus pamungkas. Setelah keduanya siap, mulailah sang Begawan menyerang Kanjeng Sunan dengan jurus-jurus andalannya. Secepat kilat pukulan sang Begawan menghantam Kanjeng Sunan, secepat kilat pula Kanjeng sunan mengembalikan pukulan itu kepada sang Begawan dengan dorongan telapak tangannya. Tak ayal lagi pukulan itu mengenai sang Begawan sendiri. Sesuai dengan janji, akhirnya sang Begawan mengaku kalah dan berlutut dihadapan Kanjeng Sunan seraya meminta maaf atas kesombongannya.
“Kali ini kuserahkan jiwa ragaku kepada Kanjeng Sunan, aku bersedia menjadi murid Kanjeng Sunan” kata Begawan Minto Semeru.
“Soal itu mudah, yang penting tuan kenali dulu ajaran agama islam” kata Kanjeng Sunan.
“Semula aku berjanji, jika aku yang kalah, aku bersedia menjadi murid Kanjeng.
Dan itu berarti aku harus belajar ilmu-ilmu yang Kanjeng miliki” sahut Begawan Minto Semeru.
Demikianlah hasil adu kesaktian sang Begawan Minto Semeru dengan Kanjeng Sunan Giri yang dimenangkan oleh Kanjeng Sunan Giri dan akhirnya Begawan Minto Semeru menjadi murid Kanjeng Sunan Giri.
Setelah dirasa sudah cukup lama menimba ilmu dari Kanjeng Sunan Giri, akhirnya Begawan Minto Semeru kembali ke Gunung Lawu. Disana sang Begawan mengajak murid-muridnya untuk mengenal ajaran agama Islam.
Sampai akhir hayatnya, Raden Paku atau Sunan Giri tetaplah merupakan pahlawan islam yang sangat diagungkan. Beliau merupakan orang yang banyak menyebarkan ajaran Islam di Indonesia terutama di Pulau Jawa dan sekitarnya. Tepat pada hari Senin bulan Dzulhijjah beliau meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Gunung Giri Kecamatan Kebomas Kabupaten Gresik. Sampai saat ini banyak peziarah dari penjuru tanah air datang ke makam beliau karena jasa-jasa beliau dalam menyebarkan agama Islam. Semoga jasa-jasa beliau dalam menegakkan ajaran agama Islam diterima di sisi allah SWT. Amien Ya Robbal Aalamien.

Konon menurut catatan sejarah, silsilah Sunan Giri bila dilihat dari jalur ayahnya Syekh Maulana Ishaq masih berhubungan dengan Baginda Rasullulah SAW. Dan bila silsilah keturunan dari ibunya Dewi Sekardadu masih ada hubungan dengan Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk.