Sejarah atau cerita yang berhubungan dengan nama Baturraden
itu ada dua versi, yaitu versi Kadipaten Kutaliman dan versi Syekh Maulana
Maghribi.
Baturraden berasal dari dua kata yaitu ‘Batur’ yang
dalam bahasa Jawa berarti Pembantu, Teman, atau Bukit dan ‘Raden’ yang dalam
bahasa juga berarti Bangsawan. Dilihat dari susunan kata-katanya, maka nama
Baturraden terdiri dari kata :
a. Batur – Radin, yang artinya tanah datar
b. Batur – Adi, yang artinya tanah yang indah
Dua macam nama tersebut bukan sesuatu nama yang berdiri
sendiri tanpa ada kaitannya dengan wilayah lain sepanjang lereng Gunung Slamet
dari arah barat ke timur sampai Dieng plateau (dataran tinggi Dieng). Disekitar
Baturraden juga terdapat beberapa nama diawali dengan kata ‘Batur’, seperti;
Batur Agung, Batur Golek, Batur Semende, Batur Sengkala, Batur Macan, Batur
Duwur, Batur Wadas Galengan dan Batur Begalan.
Versi Kadipaten Kutaliman
Pada Ratusan tahun silam konon terdapat sebuah
Kadipaten ‘KUTALIMAN’ yang terletak 10 km disebelah Barat Baturraden.
Adipatinya mempunyai beberapa anak perempuan dan seorang ‘gamel’ (pembantu yang
menjaga kuda). Salah satu anak perempuannya jatuh cinta dengan gamel. Cinta
mereka dilakukan secara sembunyi-sembuyi. Sesudah mendengar berita, bahwa anak
perempuannya jatuh cinta dengan pembantunya, sang Adipati marah dan mengusir
gamel dan anak perempuannya dari rumah. Diperjalanan dia melahirkan bayi
didekat sungai, kemudian mereka menamakannya sungai ‘Kaliputra’. (Kali berarti
Sungai dan Putra berarti anak laki-laki).
Letaknya kira-kira tiga kilometer sebelah utara
Kutaliman. Akhirnya mereka menemukan tempat yang indah dan memutuskan untuk
tinggal di tempat yang sekarang dikenal dengan nama ‘Baturraden’. Berdasarkan
versi pertama tersebut nama Baturaden seharusnya ditulis dengan dua ‘R’ karena
versi tersebut berasal dari kata ‘Batur’ dan ‘Raden’ menjadi ‘BATURRADEN’.
Versi Syekh Maulana Maghribi
Konon di Negara Rum, bertahta seorang Pangeran bernama
Syekh Maulana Maghribi berasal dari Turki yang memeluk agama Islam dan dia
adalah seorang ulama. Pada waktu fajar menyingsing, setelah beliau melakukan
kewajibannya selaku orang muslim, terlihatlah oleh beliau cahaya terang
misterius bersinar disebelah timur menjulang tinggi di angkasa. Terdorong oleh
perasaan ingin mengetahui tempat darimana cahaya terang misterius itu datang dan
makna dari cahaya terang tersebut, maka timbullah niat dan itikad yang kuat di
dalam sanubarinya dan mencari tempat yang dimaksud. Seorang sahabatnya bernama
Haji Datuk dipanggil dan diperintahkan supaya para hulubalang dan
balatentaranya menyiapkan armada dengan segala perlengkapannya untuk berlayar
menuju kearah datangnya cahaya misterius tersebut. Maka,berangkatlah si
Pangeran bersama-sama dengan sahabatnya itu 298 (dengan dua ratus sembilan
puluh delapan) orang pengikutnya mengarungi samudera menuju kearah terlihatnya
cahaya itu memancar selama 40 malam.
Kemudian sampailah mereka di ujung timur sebuah pulau
yang bernama dengan Pulau Jawa. Adapun tempat dimana mereka membuang sauh
dewasa ini terkenal dengan nama Pantai Gresik.
Meskipun mereka telah lama menempuh perjalanan penuh
dengan berbagai kesulitan dan penderitaan serta menghadapi bermacam-macam
marabahaya, mereka belum mencapai apa yang menjadi cita-cita atau tujuannya
karena cahaya terang misterius tersebut tampak disebelah barat. Pada suatu waktu
terlihat kembali cahaya terang yang sedang dicarinya itu disebelah barat dan
mereka mengambil keputusan kembali karah barat dengan menempuh jalan di laut
Jawa di pantai Pemalang Jawa Tangah, dimana mereka berlabuh sambil sekedar
melepas lelah. Ditempat ini Syekh Maulana Maghribi meminta para armadanya untuk
pulang ke negerinya, sedangkan Syekh Maulana Maghribi ditemani oleh Haji Datuk
dan untuk sementara bermukim ditempat itu.
Karena mereka mempunyai kepercayan pada Yang Maha
Pencipta, mereka dijiwai oleh kekuatan Gaib yang tiada kunjung padam dan
berketetapan hati akan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki menuju
kearah Selatan sambil menyebarkan agama Islam. Dari Pemalang mereka menuju ke
selatan menyusuri hutan belantara tanpa mengenal bahaya yang dihadapinya karena
tertarik sinar cahaya misterius yang sekarang terlihat di Timur Laut. Berhubung
jalur yang ditempuhnya itu meletihkan, maka mereka berhenti sejenak untuk
melepaskan lelahnya sambil termenung merasakan kisah perjalanannya serta
kewajibannya yang dibebankan diatas pundaknya untuk menyebarluaskan agama
Islam. Tempat dimana mereka beristirahat dengan diliputi pikiran-pikiran
(gagasan-gagasan) dan perasaan-perasaan yang memenuhi hati sanubarinya diberi
nama ‘Paduraksa’ yang artinya bertengkar didalam kalbu atau rasa.
Dari tempat itu mereka meneruskan perjalanannya ke
selatan lagi dan sampailah mereka di hutan belukar dan untuk melepaskan
lelahnya mereka singgah diatas tonggak randu yang tumbang dan tempat tersebut
mereka beri nama ‘Randudongkal’. Dari tempat peristirahatannya itu, cahaya
terang masih kelihatan ada di timur laut, dan mereka meneruskan perjalanannya
menuju arah cahaya tadi. Dan sebelum mereka sampai ketempat yang menjadi
tujuannya mereka berhenti untuk beristirahat di dekat Sendang (kolam) untuk
melakukan ibadah Sholat, dan sesudahnya tempat tersebut diberi nama ‘Belik’.
Setelah melakukan Sholat, maka perjalanan diteruskan kearah timur dan sampailah
disuatu tempat, dimana terdapat banyak batu-batuan dan di tempat tersebut
mereka beristirahat lagi sambil memikirkan bagaimana cara mereka dapat
menjangkau tempat kedudukan cahaya yang dicarinya, karena cahaya terang
tersebut terlihat ada dipuncak Gunung. Tempat dimana mereka beristirahat dan
terdapat banyak batu-batuan itu diberi nama ‘Watu Kumpul’.
Karena tekadnya yang kuat, pendakian itu dilakukan
hingga akhirnya sampailah mereka di tempat yang dituju. Terlihat oleh mereka
seorang pertapa yang menyandarkan dirinya pada sebatang pohon jambu yang
mengeluarkan sinar yang bercahaya menjulang tinggi ke angkasa. Perlahan-lahan
Syekh Maulana Maghribi dan Haji Datuk menuju mendekati tempat tersebut sambil
mengucapkan salam ‘Assalamu’alaikum’, tetapi tidak dijawabnya oleh si petapa
meskipun berulangkali diucapkan. Setelah ternyata salamnya tidak mendapat
jawaban, maka Haji Datuk berkata pada Syekh Maulana Maghribi : ‘Kiranya pertapa
itu adalah seorang Budha’. Mendengar perkataan tersebut, si petapa itu lalu
menjawab : ‘Sesungguhnya saya ini adalah orang Budha yang Sakti’. Mendengar
kata-kata sakti maka Syekh Maulana Maghribi meminta kepada pemeluk agama Budha
tadi, bahwa beliau ingin melihat atau menyaksikan kesaktiannya,maka diambillah
tutup kepalanya yang berupa kopiah itu dapat terbang di angkasa. Syekh Maulana
Maghribi tergolong orang yang mempunyai kesaktian dan didorong oleh rasa ingin
mengimbangi kemukjizatan si pertapa itu, lalu melepaskan bajunya dan
dilemparkan keatas, ternyata baju tersebut dapat terbang di udara dan selalu
menutupi kopiah si pertapa yang menandakan bahwa kesaktiannya lebih unggul dari
kesaktian orang Budha itu,tetapi ia belum mau menyerah dan masih akan
mempertontonkan lagi kepandaiannya yang berujud menyusun telur setinggi langit.
Melihat keadaan tersebut diatas Syekh Maulana Maghribi merasa heran, namun
demikian ia tidak mau dikalahkan begitu saja, maka dengan tenangnya
diperintahkan kepada si pertapa agar ia mau mengambil telur itu satu persatu
dari bawah tanpa ada yang jatuh. Ternyata pertapa itu tidak sanggup
melakukannya. Karena si pertapa sudah benar-benar tidak melakukannya hal
tersebut, maka Syekh Maulana Maghribi mengambil tumpukan telur tadi dimulai
dari bawah sampai selesai dengan tidak ada satupun yang jatuh.
Syekh Maulana Maghribi masih merasa belum puas dan
masih meneruskan perjuangannya sekali lagi dengan memperlihatkan pemupukan
periuk-periuk berisi air sampai menjulng tinggi. Lalu, Syekh Maulana Maghribi
berkata : ‘Ambillah periuk-periuk itu satu demi satu dari bawah tanpa ada yang
berjatuhan’. Setelah ternyata tidak ada kesanggupan daari si pertapa, maka beliau
sendirilah yang melakukannya dan periuk yang terakhir itu pecah dan airnya
memancar kesegala penjuru.
Akhirnya si pertapa yang mengaku bernama ‘Jambu Karang’
(nama tersebut berasal dari pohon sandarannya, yaitu sebatang pohon jambu
dimana disekelilingnya terdapat batu-batuan) menyerah kalah serta berjanji akan
memeluk agama Islam. Janji tersebut diterima oleh Syekh Maulana Maghribi dan
Jambu Karang diperintahkan untuk memotong rambut dan kukunya dan selnjutnya
dikubur di ‘Penungkulan’ (tempat dimana si pertapa menyerah kalah). Kemudian
dilakukan upacara penyucian dengan air zam-zam yng dibawa oleh Haji Datuk dari
Tanah Suci atas perintah Syekh Maulana Maghribi dengan mempergunakan tempat
dari bambu (bumbung). Setelah upacara penyucian selesai, bumbung berisikan sisa
air disandarkan pada pohon waru, tetap karena kurang cermat menyandarkannya
maka robohlah bumbung tadi dan pecah sehingga air sisa tersebut berhamburan dan
di tempat tersebut konon kabarnya menjadi mata air yng tidak mengenal kering
dimusim kemarau.
Setelah pertapa disucikan menjadi pemeluk agama Islam,
maka namanya diubah menjadi ‘Syekh Jambu Karang’. KemudianSyekh Jambu Karang
akan mendapatkan wejangan (bai’at), beliau menunjukkan suatu tempat yang serasi
dan cocok untuk upacara bai’at tersebut yaitu diatas bukit ‘Kraton’. Sesaat
setelah Syekh Jambu Karang menerima wejangan, turun hujan lebat disertai dengan
angin ribut yang mengakibatkan pohon-pohon disekeliling tempat itu menundukkan
dahan-dahannya seperti sedang menghormati Gunung Kraton yaitu tempat dimana
Syekh Maulana Maghribi sedang memberikan wejangan (membai’at) Syekh Jambu
Karang menjadi seorang Muslim. Menurut hikayatnya, Syekh Jambu Karang mempunyai
seorang putri bernama ‘Rubiah Bhakti’ yang dipersunting oleh Syekh Maulana
Maghribi, setelah Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim dengan mas kawin
berupa mas merah setanah Jawa. Setelah memperistrikan putri Syekh Jambu Karang,
Syekh Maulana Maghribi berganti nama menjadi ‘Atas Angin’. Dari perkawinannya
tersebut menurunkan lima orang putera dan puteri, yaitu :
1. Makdum Kusen (Makam di Rajawana)
2. Makdum Medem (Makam di Cirebon)
3. Makdum Umar (Makam diKarimun Jawa)
4. Makdum (yang menghilang atau murca)
5. Makdum Sekar (Makam di Gunung Jembangan)
Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim di Gunung
Kraton, dan setelah wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat pemakamannya
disebut ‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).
Syekh Maulana Maghribi yang terkenal dengan ‘Mbah Atas
Angin’ selama empat puluh lima tahun bermukim disuatu tempat atau pedukuhan
yang bernama ‘Banjar Cahayana’ (mungkin tempat tersebut didiami setelah
menemukan cahayanya). Di tempat tersebut Mbah Atas Angin menderita penyakit
gatal-gatal yang susah disembuhkan. Hal ini menimbulkan keprihatinan disertai
dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya diberi rahmat serta berkah
terhindar dari penyakitnya itu.
Sesudah sholat Tahajud.dia mendapat Ilham bahwa dia
harus pergi ke Gunung ‘Gora’ dimana ia akan mendapatkan obat mujarab untuk
menyembuhkan penyakitnya itu. Kemudian pagi-pagi waktu Shubuh Mbah Atas Angin
bersama Haji Datuk pergi kearah barat dan pada siang hari sampailah mereka
dilereng Gunung Gora. Sesudah sampai di lereng Gunung Gora beliau meminta Haji
Datuk untuk meninggalkannya dan beristirahat sambil menunggu di tempat yang
datar, sebab Mbah Atas Angin akan meneruskan perjalanannya kearah suatu tempat
yang mengepulkan asap. Ternyata disitu ada sumber air panas dan Syekh Maulana
Maghribi menyebutnya ‘Pancuran Pitu’ yang artinya sebuah sumber air panas yang
mempunyai tujuh mata air. Setiap hari Syekh Maulana Maghribi mandi secara
teratur di tempat itu, dengan begitu dia sembuh dari penyakit gatalnya.
Sesudahnya beliau memanjatkan do’a syukur kehadirat Illahi serta mengucap
syukur bahwasanya ia telah dikaruniai sembuh dari sakitnya yang telah sangat
lama dideritanya. Setelah ia kembali ketempat dimana Haji Datuk menunggu, ia
berkata : Saksikanlah, saya sekarang telah sembuh dari sakitku dan telah
terhindar dari penderitaan.
Selanjutnya Dia mengganti nama Gunung Gora itu menjadi
‘Gunung Slamet’. Slamet dalam bahasa Jawa berarti aman. Selama Syekh Maulana
Maghribi berobat di Pancuran Pitu, Haji Datuk tetap dan taat menunggu ditempat
yang ditunjuk semula dan kepadanya diberi julukan ‘Haji Datuk Rusuladi’.
Rusuladi artinya ‘Batur Yang Baik’ (Adi).
Dan konon kabarnya tempat tersebut oleh penduduk
sekitarnya hingga kini disebut dengan "Baturaden".
No comments:
Post a Comment