Pengumpul teripang asal
Makassar telah mengunjungi pantai utara Australia selama ratusan tahun lamanya
untuk mengumpulkan ‘teripang’, jenis invertebrata laut yang dapat dikonsumsi
dan menjadi obat di pasar Cina. Kunjungan mereka telah memberikan pengaruh bagi
penduduk Australia Utara dalam bahasa, seni dan ekonomi, bahkan agama dan
kepercayaan hingga genetik keturunan antara Makassar dan Australia.
Pada masa kuno, orang
Aborigin di Australia telah memiliki keterikatan dengan kerajaan-kerajaan di
kepulauan Nusantara yang pada masa kini disebut sebagai Indonesia.
Pelayaran dimulai dari
Makassar ke “Marege” nama yang diberi orang dari Makassar untuk sebuah
wilayah pantai utara Australia pada masa lalu, ketika orang Makassar (Macassans)
mencari dan berdagang teripang, jenis invertebrata laut yang dapat dikonsumsi
dan menjadi obat di pasar Cina.
Pelayaran antara Sulawesi
dan pantai utara Australia seperti ini telah dimulai sekitar tahun 1720,
meskipun beberapa penulis menyatakan perjalanan telah dimulai 300 tahun lebih
awal, atau sekitar tahun 1400-an. Desa kuno di Tanah Arnhem (Arnhem Land) Yolŋu
languages (green) among other Pama–Nyungan (tan) Arnhem Land (Tanah Arnhem,
Arnhem diambil dari nama kapal Belanda yang pernah berlabuh di sana 1623)
adalah salah satu dari lima “wilayah” (region) di bawah administrasi Northern
Territory di Australia.
Posisinya terletak di
sudut timur laut dan berjarak sekitar 500 km dari ibu kota Darwin. Wilayah
ini memiliki luas 97.000 km2 yang juga mencakup daerah Taman Nasional
Kakadu, dan berpopulasi 16.230.
Wilayah dinamai oleh
Matthew Flinders, penjelajah Inggris yang berkunjung ke tempat itu 1828.
Menurut catatan Makassar seperti yang telah ditulis sebelumnya, daerah
pesisir Arnhem Land disebut Marege, sementara pesisir region Kimberley
di Australia Barat yang bersebelahan dinamakan Kayu Jawa.
Kontak Gowa dengan suku Aborigin Yolngu (Yolŋu)
Prof. Regina Ganter,
seorang sejarawan dari University of Griffith, Brisbane, Australia, telah
meriset salah satu suku Aborigin Marege yang ternyata berbahasa Melayu Makasar.
Marege adalah desa kuno di Tanah Arnhem (Arnhem Land) di daerah Darwin, dan
Australia bagian utara.
Penghuni asli
wilayah Tanah Arnhem ini adalah suku pribumi Aborigin Yolŋu (baca:
Yolngu), yang sebelum kedatangan orang Eropa diketahui telah berhubungan dagang
dengan pelaut atau pedagang dari Bugis/Makassar dan Melayu.
Prof. Regina Ganter,
peneliti yang mendapat fakta komunitas Muslim kuno Aborigin berasal dari
Kerajaan Gowa Tallo di Makasar, Sulawesi Selatan.
Dalam risetnya, Prof.
Regina menuturkan bahwa sejak masa Sultan Hasanuddin (1653-1669) kapal-kapal
Phinisi dari Makasar menguasai perairan teluk antara Carpentaria – Darwin,
untuk mencari tripang.
Prof. Regina mendapat
fakta yang menakjubkan, bahwa komunitas Muslim kuno Aborigin berasal dari
Kerajaan Gowa Tallo di Makasar, Sulawesi Selatan.
Komunitas ini sudah ada
sejak abad ke 17 atau sekitar tahun 1650-an dan menyebarkan Islam di Australia
Utara hingga ke desa yang pada masa lalu disebut sebagai desa “Kayu Jawa” di
Australia Barat.
Begitu fenomenalnya
suku Yolngu, sampai dibuat film drama yang berjudul “Yolngu Boy” pada
tahun 2001 yang menceritakan tiga bocah suku Yolngu melewati transisi dari
kehidupan anak-anak menjadi remaja.
Keuntungan film drama ini
sebesar $645,700 dan itupun hanya keuntungan dari penayangannya di Australia
saja. Film suku Yolngu lainnya adalah “Ten Canoes” pada tahun 2006 dan
memenangi beberapa penghargaan (award) seperti AACTA Awards Australia, Cannes
Film Festival, Flanders International Film Festival Ghent, Satellite Award dan
lainnya.
Tanah Arnhem adalah wilayah Kerajaan Goa-Tallo
Kerajaan Goa-Tallo adalah
penyatuan Gowa dan Tallo, oleh Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama
Tumapa’risi’ Kallonna. Ia kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang
menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai)
akan mendapat hukuman Dewata.
Sebuah perundang-undangan
dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan
bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan.
Begitu dikenangnya raja
Tumapa’risi’ Kallonna ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa
pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan
ikan banyak.
Kesultanan Gowa atau
kadang ditulis sebagai “Goa”, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan.
Rakyat dari kerajaan besar
ini berasal dari Suku Makassar yang sebagian besar bermukim di ujung selatan
pulau Sulawesi dan juga di wilayah pesisir barat bagian selatan atau wilayah
tenggara dari pulau itu.
Wilayah kerajaan ini
sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya.
Kerajaan ini juga memiliki
raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin yang saat itu melakukan
peperangan, yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669).
Peprangan itu dilakukan
sebagai perlawanan terhadap pihak VOC Belanda yang dibantu oleh Kesultanan
Bone, yang pada saat itu dikuasai oleh satu wangsa (dinasti) Suku Bugis dengan
rajanya, Arung Palakka.
Namun sebenarnya Perang
Makassar bukanlah perang antar suku, karena pihak Gowa memiliki sekutu dari
kalangan Bugis juga. Demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang
Makassar pula. Perang Makassar adalah perang terbesar yang pernah dilakukan VOC
pada abad ke-17.
Pengaruh terhadap warga Australia
Hubungan Makassar dengan
penduduk asli Australia masih diingat hingga kini, melalui sejarah lisan,
lagu-lagu, tarian dan lukisan-lukisan batu, dan juga melalui perubahan warisan
budaya yang diakibatkan oleh hubungan ini.
Makassar menukar
barang-barang seperti pakaian, tembakau, pisau, nasi, dan alkohol demi hak
untuk menangkap ikan di perairan Aborigin. Mereka juga mempekerjakan penduduk
asli.
Beberapa komunitas Yolngu
di Arnhem Land mengubah ekonomi mereka dari berbasis darat menjadi berbasis
laut, karena masuknya teknologi Makassar seperti kano.
Kapal-kapal yang mampu
berlayar itu, tidak seperti kano tradisional, memungkinkan penangkapan dugong
dan penyu di laut.
Beberapa pekerja Aborigin
menemani orang Makassar kembali ke Sulawesi Selatan. Pijin Makassar
menjadi lingua franca di pantai utara dan ini berlangsung tidak hanya
antara Makassar dengan penduduk Aborigin, tetapi juga antara suku-suku Aborigin
yang berbeda. Selain itu, kemungkinan Makassar telah membawa agama Islam ke
Australia.
Kental Budaya Nusantara
Beberapa lafal dari orang
Marege hingga hari ini juga masih dapat dibuktikan, misalnya menyebut “rupiah”
sebagai kata ganti “uang”, padahal mata uang mereka pada masa kini adalah
Dollar Australia. Orang Merege juga menyebut “dinar” untuk koin emas Australia.
Bahkan dahulu sempat
ditemukan koin “Gobog Wayang” di desa Marege di kota Darwin, Australia Utara.
Padahal koin Gobog merupakan koin resmi Majapahit.
Hal ini menunjukkan adanya
jejak prajurit Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 yang dikirim ke Marege,
Australia Utara.
Di Tanah Arnhem, Marege,
orang Makassar berhubungan dengan suku Aborigin, menikah dan beranak pinak
membentuk komunitas Aborigin Muslim.
Dalam kebudayaan Marege,
nampak jelas mereka menggambar kapal Pinisi Makassar dalam karya seni kuno
mereka.
Uniknya, ternyata kapal
bercadik era Majapahit pun terpahat dalam seni ukir dan seni lukis mereka yang
sudah turun-temurun dan berusia ratusan tahun.
Ketika orang Inggris masuk
ke benua Australia utara dan menjajah desa Marege dan desa Kayu Jawa, mereka
nyaris menghancurkan budaya Islam suku Aborigin Marege pada abad ke 20 seiring
arus Westernisasi ke negeri Kanguru ini.
Salah satu akibatnya,
karya seni Marage banyak yang diboyong ke Eropa. Orang Marege menyebut orang
Inggris sebagai ‘Balanda’, sedangkan orang Kayu Jawa menyebutnya ‘Walanda’, dan
perang melawan orang Inggris disebut ‘Jihad Kaphe’.
Perdagangan teripang berakhir
Perdagangan teripang mulai
merosot pada akhir abad ke-19 karena penetapan bea cukai oleh pemerintah
Australia. Setelah penerapan undang-undang untuk melindungi “integritas
wilayah” Australia, perahu Makassar terakhir meninggalkan Arnhem Land tahun
1906. Permintaan teripang juga menurun karena kekacauan di Cina pada masa itu.
Ini adalah bukti sejarah
bahwa sejak dahulu kala, bangsa dan kerajaan-kerajaan Nusantara tak mau
menjajah bangsa atau suku Aborigin di benua Australia. Jadi bukanlah James Cook
yang mengaku sebagai penjelajah sekaligus “penemu” benua Australia.
Jadi pada masa lalu,
mereka hanya saling menjalin kerjasama perdagangan dan budaya, saling
mengunjungi bahkan menikah diantara mereka. Di Makassar juga terdapat paling
tidak 10 makam suku Aborigin Marage. Selain itu ada pula bukti lainnya, yaitu
pernah ditemukannya sebuah meriam kuno di pesisir pantai Australia.
Maka dengan adanya
bukti-bukti ini, nyata telah ada hubungan antara penduduk Nusantara dan
Australia jauh pada masa lampau sebelum bangsa Eropa menjelajah kawasan ini.
Kemudian orang-orang
imperialis Eropa akhirnya datang, dan sudah memiliki keinginan untuk tinggal,
membangun rumah serta memakai tanah produksi yang dimiliki orang Aborigin,
menjajah tanah suku Aborigin hingga kini, dan mungkin untuk selamanya.
No comments:
Post a Comment