“Pemerintah AS dikabarkan
menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika
Pemerintah RI bersedia menarik buku Siti Fadilah Supari setebal 182 halaman
itu. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak
yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.”
Pada tahun 2005-2009 lalu,
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) membuat gerah World Health
Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil
menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata
biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).
Setelah virus itu menyebar
dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin
lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk
Indonesia. Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia
Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Selain dalam edisi Bahasa
Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris
dengan judul It’s Time for the World toChange. Konspirasi tersebut, kata
Fadilah, dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam
kesempitan pada penyebaran virus flu burung.
“Saya mengira mereka
mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara
kita,” ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta.
Situs berita
Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS
dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian
H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi. Karena itu pula,
bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO. “Kegerahan”
itu saya tidak tanggapi, betul apa nggak, mari kita buktikan.”
“Kita bukan saja dibikin
gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita,
lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada, kita sudah
kaya,” ujarnya.
Fadilah mengatakan, edisi
perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa
Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku.
“Saat ini banyak yang
meminta, jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah
besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini
saya sedang mencari dan membicarakan dengan penerbitan besar,” katanya.
Selain mencetak ulang
bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan
buku jilid kedua.
“Saya sedang menulis jilid
kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya.
Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah
berubah dalam bentuk kelontongan”, ujarnya.
“Virus yang saya kirimkan
dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush,” ujar menteri kesehatan
pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.
Siti enggan berkomentar
tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik
buku dari peredaran.
“Bukunya sudah habis. Yang
versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis,
sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual,” katanya sembari
mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.
Pemerintah AS dikabarkan
menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika
Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu. Mengubah Kebijakan
apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara
protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO
sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50
tahun.
Perlawanan Fadilah dimulai
sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005.
Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh
pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu
burung.
“Menteri Kesehatan
Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin
terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu
transparansi,” tulis The Economist.
The Economist, seperti
ditulis Asro Kamal Rokan di Republika edisi Maret 2008 lalu, mengurai, Fadilah
mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia
kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong
negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung. Di tengah upayanya
mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO
Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk
menyerahkan sampel spesimen. Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia
juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata
sama. Tapi, mengapa WHO meminta sampel dikirim ke Hongkong?
Fadilah merasa ada suatu
yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang
Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO untuk
dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus. Dari
bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat
vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya,
yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban,
kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.
Fadilah marah. Ia merasa
kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah
dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN)
WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun.
Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus
flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka
berhak memprosesnya menjadi vaksin! Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali
menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA
H5N1 yang disimpan WHO. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National
Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada
empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Ternyata ini berada di bawah
Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu
untuk apa data itu? Untuk vaksin atau senjata kimia?
Fadilah tak membiarkan
situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka,
tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil.
Pada 8 Agustus 2006, WHO
mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan
Los Alamos, telah memujinya! Majalah The Economistmenyebut peristiwa ini
sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus
mengejar WHO agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah
ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi
Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta
pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan
dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama
mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia. Dan,
perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat
penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di
Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO akhirnya
menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN
dihapuskan.
Jejak Chemtrail di langit Jakarta
Jejak-jejak kimia berupa
asap “tak alamiah” dari kondensasi pesawat berupa awan memanjang (chemical
trails/chemtrails) yang disemprotkan pesawat asing kadang juga berisi aerosol
bermuatan virus maut yang sengaja disemprotkan.
Chemtrails sering
disemprotkan di atas langit Jakarta untuk “mempersiapkan” warga Jakarta dan
sekitarnya “menerima” virus flu burung (H5N1) yang telah dimodifikasi.
Bagaimana kelanjutannya?
No comments:
Post a Comment