Kartini adalah pahlawan Nasional SK Presdien RI (Ir.
Soekarno) No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. SK tersebut menetapkan Kartini
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional menunai banyak kontroversi. Banyak latar
yang mempertanyakan bahwa nilai kepahlawanannya tidak lepas dari politik etis
zaman Belanda. RA kartini merupakan wanita berdarah biru, cerdas, pemberani,
dan kurang menyukai hal-hal yang bersifat seremonial. Dia menentang perihal
yang bersifat feodalism kerajaan maupun kolonial. Dan sangat memperhatikan
nasib bangsa bumipertiwi khususnya kaum wanita dibidang pendidikan. Karena ia
berpikir, hanya melalui pendidikan rakyat Indonesia lepas dari perbudakan
kolonial penjajahan dan keratonism. Yakni sebuah pemikiran yang jarang dimiliki
oleh putra bangsa —apalagi wanita— seperti Kartini.
Sehingga nasehat Hugrogonje, orang seperti kartini
harus didekati, karena pola pemikirannya sangat berbahaya bagi sistem kolonial
Hindia Belanda. Maka dari itu JH Abendanon, Menteri Pendidikan penjajahan kala
itu di zaman Kartini berupaya mendekati Kartini dari sudut pemikiran.
Pemikiran-pemikiran Kartini yang sedemikian berani,
kritis, sistemik terlihat dari berbagai surat-surat dan artikel yang sudah
menyebar di majalah-majalah wanita Eropa harus didampingi oleh orang Belanda
agar tidak keluar dari visi penjajahan kerajaan belanda di Hindia Belanda.
Khususnya pemikiran tentang gugatan emansipasi di zaman yang sudah mendunia
kala itu bahwa pemikiran tentang kewanitaan sangat mengagetkan wanita-wanita
Eropa. Penjajahan tidak hanya feodalisme dan kapitalis dunia, akan tetapi
diskriminasi terhadap kaum wanita di seluruh dunia bisa dikatakan bagi kaum
wanita— merupakan era penjajahen gender, bahkan untuk negara penjajah sendiri
seperti Belanda dan Eropa lainnya, kaum wanita merasa terjajah oleh sistem
negerinya sendiri. Dan Kartini ibarat sinar yang mampu menggugah pemikiran
wanita-wanita Eropa untuk bangkit menjadi kaum yang mandiri yang tidak hanya
takluk oleh kaum pria dan sistem yang melingkupi budaya kewanitaan.
Sedemikian jauh dan cerdas, untuk sekian kalinya JH.
Abendanon mengawal profil kehidupan dan pemikiran Kartini —-lihat dalam uraian
surat-surat Kartini di buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” (door duisternis tot
licht) — tidak mampu mengawal letupan-letupan gugatan Kartini terhadap sistem
feodal kratonism dan kolonialism. Dalam rekayasa ini sangat terlihat
intrik-intrik hitam pada detik-detik Kartini, ketika ada visi untuk menjatuhkan
intlektual Kartini.
Artinya, Kartini di zaman itu bukan hanya di era
indonesia dan segala kerajaannya, akan tetapi surat-surat dan artikel via pos.
Kalau tidak berlebihan dikatakan, “ di zaman itu 1898 – 1902 Kartini menjadi
tokoh dunia. Ia menjadi sentral tokoh-tokoh wanita Eropa di dunia.” Dan bagi
kolonial Belanda di Indonesia menghabisi peran intlektual Kartini akan menjadi
masalah internsional, karena masalah area kolonial atau penjajahan sangat
bersaing ketat dengan Inggris.
Dari sini ada upaya “gerakan bawah tanah” untuk
menghabisi RA Kartini . Gerakan itu bisa dirasakan dan mulai terlihat jelas
ketika RA kartini hendak sekolah ke Luar Negeri, kemudian cita-citanya sekolah
di Bandung, semua tumbang ditengah jalan akibat campur tangan JH Abendanon
terhadap bapak Kartini. Demikian juga masalah pernikahan, sangat kental sekali
upaya JH Abendanon terhadap bapak Kartini dan sistem keraton Jepara. Akhirnya
Kartinipun menikah di usia 25 tahun. Kalau sudah menilah —bagi adat Jawa yang
sudah dipelajarai penjajah Belanda —- tentu profil wanita Jawa tidak bisa
berbuat banyak lagi.
Ketika memasuki area pernikahan dan hidup di Rembang
bersama suami tercinta, rupanya sang suami sangat mendukung visi, misi, dan
tujuan Kartini tentang Pendidikan, menulis buku —bahkan Kartini sudah membuat
plot buku yang bertema Babat tanah Jawa, — atas dukungan suami tercinta. Buku
itu belum selesai ditulis karena meninggal dunia. Juga ada seorang ulama Kyai
Sholeh Darat menulis kitab tafsir untuk Kartini agar bagaimana Kartini memahami
Islam, Kyai itupun wafat dengan misterius, sebab umat islam sengaja dijauhkan
dari keilmuan agamanya sendiri. Dengan kata lain bahwa Kartini, walaupun sudah
berstatus istri masih melakukan aktifitas-aktifitas intlektualnya atas bantuan
suami dan orang terdekat dari kalangan pribumi.
“Betapa bahagianya Kartini melihat suaminya mendorong
agar tetap bersemangat menulis. Suaminya menyampaikan ide agar menulis buku
Babad Tanah Jawa. Diharapkan dari tulisan Kartini kelak masyarakat Jawa bisa
melihat dengan jelas sejarah perkembangan tanah Jawa.
Dikatakan dalam satu suratnya tanggal
16 Desember.
Suami sangat inginnya melihat saya menulis kitab
tentang cerita lama-lama dan babad tanah Jawa. Dia akan mengumpulkannya bagi
saya; kami akan bekerja bersama-sama mengarang kitab itu. Senangnya hati mengenangkan
yang demikian itu !
Masih banyak lagi hal yang hendak diperbuatnya
bersama-sama dengan saya; di atas meja tulis saya telah ada beberapa karangan
bekas tangannya. (Armijn Pane 1968, 238) Hidup di Rembang sebagai permaisuri
sekaligus wanita karir (sebutlah seperti di zaman modern ini) Kartini sudah
mencapainya dengan baik sejak era 1900-an. Aspek sejarah manapun terbukti bahwa
Kartini sudah membuka pintu yang luas untuk diri dan bangsanya. Menjadi
kolomnis untuk majalah Eropa dan menjadi penulis buku bukan hal yang mudah di
zaman penjajah. Tingkat kecerdasan masyarakat Jawa secara umum masih banyak
yang belum bisa baca tulis. Akan tetapi Kartini gadis keraton dengan gaya
pendidikan yang ketat (di keraton) tanpa mengalami kesulitan menulis buku atau
membaca buku-buku. Ia memperoleh dukungan luar biasa dari suaminya.”
JH Abendanon dan orang-orang Belanda berpikir keras,
bagaimana menghentikan gerakan intlektual Kartini terhadap bangsa melalui
pemikiran dan wawasan kebangsaan Indonesia. Muncullah “gerakan bawah tanah”
melalui dokter persalinan yang mengurusi persalinan RA. Kartini ketika
melahirkan Susalit, dan fenomena itu bisa ditafsir ke seribu makna tentang
kematian Kartini. Proses persalinan Susalit tidak ada masalah. Badan sehat,
tidak ada keluhan, namun pada minggu selanjutnya ketika DR itu datang,
tiba-tiba perutnya sakit dan meninggal dunia.
Ada kutipan yang menarik. Sitiosemandari memberikan
gambaran kecurigaan yang wajar. Tanggal; 13 September 1904 bayinya lahir,
laki-laki, kemudian diberi nama Raden Mas Soesalit. Tanggal 17 September, dr.
Van Ravesteyn datang lagi untuk memeriksa dan dia tidak mengkhawatirkan keadaan
Kartini. Bahkan bersama-sama mereka minum anggur untuk keselamatan ibu dan
bayi.
Tidak lama setelah Ravesteyn meninggalkan Kabupaten,
Kartini tiba-tiba mengeluh sakit dalam perutnya. Ravesteyn, yang sedang
berkunjung ke rumah lain, cepat-cepat datang kembali. Perubahan kesehatan
Kartini terjadi begitu mendadak, dengan rasa sakit yang sangat di bagian perut.
Setengah jam kemudian, dokter tidak bisa menolong nyawa
pemikir wanita Indonesia yang pertama ini. Pembunuhan ? Racun ? Guna-guna ?
Tentang hal ini, Soetijoso Tjondronegoro (Sutiyoso Condronegoro) berpendapat:
“Bahwa ibu kartini sesudah melahirkan putranya, wafatnya banyak didesas-desuskan,
itu mungkin karena intrik Kabupaten. Tetapi desas-desus itu tidak dapat
dibuktikan. Dan kami dari pihak keluarga juga tidak mencari-cari ke arah itu,
melainkan menerima keadaan sebagaimana faktanya dan sesudah dikehendaki oleh
Yang Mahakuasa.” (Imron Rosyadi, 2010)
Ada pernyataan dari teman belanda, Jika hewan saya
sakitpun, saya tidak percaya terhadap kompetensi dr. Van Ravesteyn.
Ada intrik yang mendalam, yakni permainan dalam sekam
agar tidak terlihat upaya pembunuhan terhadap kartini. Orang berpura-pura
berbelasungkawa, sesungguhnya dialah yang membawa pedang tikaman. Orang
berteriak maling, sesungguhnya dialah malingnya. Akan tetapi keluarga kerajaan
mengambil jalan bijak, dan menurut bahasa elit yang terkenal zaman itu, “Laat
de doden met rust” (biarkan yang meninggal jangan diganggu – [Efatino Febriana,
2010]). Dan semuanya dianggap bagian dari perjuangan Kartini yang tertunda.
Tentang “intrik-intrik” sudah ada di zaman dulu hingga
zaman sekarang. Manusia yang dianggap penting dan berkedudukan tinggi jika
memperoleh target pembunuhan atau pemandulan peran karena pertimbangan
tertentu, pasti dilakukan dengan hati-hati, karena dampak dari pembunuhan dan
pemandulan itu akan diketahui publik dan berdampak pada eksistensi sosial yang
tinggi juga, yang taruhannya akan terkena pada pembuat intrik tadi. Jadi selalu
ada alasan lain sebagai “kambing hitam politik” sebagai korban untuk
mengamankan zona yang lebih luas dan panjang. Termasuk RA. Kartini versus
Belanda, ada zona yang lebih luas dan panjang jika Kartini dibiarkan hidup di
era zaman belanda.
Jadi R.A. Kartini bukan pahlawan yang sengaja di-usung
bangsa Belanda melalui politik etis, dan mengalahkan Cut Nyak Dien, Sartika,
dll yang tidak di”hari raya”kan sementara Kartini kenapa dijadikan momen 21
April sebagai Hari Kartini, dan tidak ada hari besar Cut Nyak Dien atau
lainnya. Hari Besar itupun dihapus dengan alasan Kartini adalah pahlawan bawaan
Belanda. Padahal Kartini adalah korban politik etis bangsa belanda secara
terselubung, hanya kita yang buta, kenapa tidak mengetahui ada mutiara yang
berserakan di tanah air sendiri dengan bicara yang tegas. Kita masih ada budaya
menyalahkan kelompok lain bidang sosial, politik, atau keagamaan, yakni melalui
pemikiran perbandingan intlektual pembenaran diri sendiri, dan menganggap
lainnya salah yang tidak koheren dengan kita. Dan Kartini salah satu korban
pahlawan di zaman dulu dan korban malpraktek pemikiran di zaman kekinian.
No comments:
Post a Comment