Thursday 3 November 2016

Kisah Sunan Bonang


·        Asal usul Sunan Bonang


Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Raden Maulana Makdum Ibrahim, atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bonang,adalah seorang putera dari Sunan Ampel.
Berbicara tentang Sunan Bonang yang namanya didepannya tercantum kata-kata Maulana Makdum, mengingatkan kita kembali kepada cerita di dalam sejarah Melayu. Konon kabarnya dalam sejarah Melayu pun dahulu ada pula tersebut tentang cendekiawan islam yang memakai gelar Makdum, yaitu gelar yang lazim dipakai di India. kata atau gelar Makdum ini merupakan sinonim kata Maula atau Malauy gelar kepada orang besar agama berasal dari kata Khodama Yakhdamu dan infinitifnya (masdarnya) khidmat. dan maf’ulnya dikatakan makhdum artinya orang yang harus dikhidmati atau dihormati karena kedudukannya dalam agama atau pemerintahan Islam di waktu itu.
Salam seorang besar yang mengepalai suatu departemen ketika terjadi pembentukan adat yang berdasarkan Islam, tatkala agama Islam memasuki lingkungan Minangkabau, berpangkat Makdum pula.Rupanya Makhdum atau Mubaligh Islam yang berpangkat atau bergelar Makhdum itu data ke Malaka dalam abad ke XV, ketika Malaka mencapai puncak kejayaannya. kembali mengenai diri Sunan Bonang disamping beliau adalah putera Sunan Ampel juga menjadi muridnya pula. adapun daerah operasinya semasa hidupnya adalah terutama Jawa Timur. Disanalah beliau mulai berjuang menyebarkan agama Islam.
Beliau adalah putera dari Sunan Ampel dalam perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, seorang putera dari Arya Teja, salam seorang Tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. menurut dugaan Sunan Bonang dilahirkan dalam tahun 1465 M, serta wafat pada tahun 1525 M.
Maulana Makhdum Ibrahim, semasa hidupnya dengan gigih giat sekali menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Timur, terutama di daerah Tuban dan sekitarnya. sebagaimana halnya ayahnya, maka Sunan Bonang pun mendirikan pondok pesantran di daerah Tuban untuk mendidik serta menggembleng kader-kader Islam yang akan ikut menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa. konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas/sial menurut kepercayaan Hindu, dan nama-nama dewa Hindu diganti dengan nama-nama malaikat serta nabi-nabi. Hal mana dimaksudkan untuk lebih mendekati hari rakyat guna diajak masuk agama Islam.
Di masa hidupnya, beliau juga termasuk penyokong dari kerajaan Islam Demak. serta ikut pula membantu mendirikan Masjid Agung di kota Bintoro Demak.
Adapun mengenai filsafat Ketuhanannya, adalah :
“Adapun pendirian saya adalah, bahwa imam tauhid dan makrifat itu terdiri dari pengetahuan yang sempurna, sekiranya orang hanya mengenal makrifat saja, maka belumlah cukup, sebab ia masih insaf akan itu. Maksud saya adalah bahwa kesempurnaan barulah akan tercapai hanya dengan terus menerus mengabdi kepada Tuhan. Seseorang itu tiada mempunyai gerakan sendiri, begitu pula tidak mempunyai kemauan sendiri. dan seseorang itu adalah seumpama buta, tuli dan bisu. Segala gerakannya itu datang dari Allah.”
Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.

·        Silsilah Sunan Bonang
Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad, Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Maulana Malik Ibrahim bin
Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin
Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
Ali Kholi’ Qosam bin
Alawi Ats-Tsani bin
Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
Alawi Awwal bin
Ubaidullah bin
Ahmad al-Muhajir bin
Isa Ar-Rumi bin
Muhammad An-Naqib bin
Ali Uradhi bin
Ja’afar As-Sodiq bin
Muhammad Al Baqir bin
Ali Zainal ‘Abidin bin
Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).

·        Bijak dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang  diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

·        Karya Satra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya. 
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya).
Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).

·        Tembang yang diciptakan
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Diantara tembang yang terkenal ialah :
               
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur'an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe 

Menurut tembang ini, ada lima macam ''penawar hati'', atau pengobat jiwa yang ''sakit''. Yakni membaca Al-Quran, mengerjakan salat tahajud, bersahabat dengan orang saleh, berzikir, dan hidup prihatin. Inilah pula yang sering dilantunkan Emha Ainun Nadjib bersama Kelompok Kyai Kanjeng, dalam sejumlah pergelarannya. 
Di luar acara Emha, Tamba Ati hingga kini masih kerap dinyanyikan sejumlah santri di pesantren dan masjid di sejumlah desa. Tapi Cak Nun --demikian Emha biasa disapa-- bukan pencipta ''lagu'' itu. Tembang ini adalah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal sebagai Sunan Bonang. 
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati untuk menarik warga masyarakat agar memeluk Islam. Pada saat berdendang, pria yang diduga berusia 60 tahun itu menabuh gamelan dari kuningan, yang dibuat oleh sejumlah warga Desa Bonang, Jawa Timur. Nama desa inilah yang kemudian melekat pada gelar sang Sunan. 

·        Pemikiran Sufutistiknya
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).
DI kalangan ulama tertentu mungkin peranan Sunan Bonang dianggap tidak begitu menonjol dibanding wali-wali Jawa yang lain. Tetapi apabila kita mencermati manuskrip-manuskrip Jawa lama peninggalan zaman Islam yang terdapat di Museum Leiden dan Museum Batavia (sekarang dipindah ke Perpustakaan Nasional), justru Sunan Bonang yang meninggalkan warisan karya tulis paling banyak, berisi pemikiran keagamaan dan budaya bercorak sufistik. Putra Raden Rahma alias Sunan Ampel, dan cucu Maulana Malik Ibrahim, yang nenek moyangnya berasal dari Samarkand ini, masih bersaudara dengan Sunan Giri, wali yang paling berpengaruh di Jawa Timur. Kedua bersaudara ini diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-15 M, pada saat Kerajaan Majapahit sedang di ambang keruntuhan. Sunan Bonang (nama sebenarnya Makhdum Ibrahim bergelar Khalifah Asmara) wafat sekitar tahun 1530 M di Tuban, tempat kegiatannya terakhir dan paling lama, pada masa jayanya Kerajaan Demak Darussalam.
Kedua wali itu dikenal sebagai pendakwah Islam yang gigih. Keduanya sama-sama belajar di Malaka dan Pasai, baru kemudian menunaikan ibadah haji di Mekah. Bedanya, jika Sunan Giri lebih condong pada ilmu fiqih, syariah, teologi, dan politik; Sunan Bonang –tanpa mengabaikan ilmu-ilmu Islam yang lain– lebih condong pada tasawuf dan kesusastraan. Sumber-sumber sejarah Jawa, termasuk suluk-suluknya sendiri menyatakan bahwa ia sangat aktif dalam kegiatan sastra, mistik, seni lakon, dan seni kriya. Dakwah melalui seni dan aktivitas budaya merupakan senjatanya yang ampuh untuk menarik penduduk Jawa memeluk agama Islam.
Sebagai musikus dan komponis terkemuka, konon Sunan Bonang menciptakan beberapa komposisi (gending), di antaranya Gending Dharma. Gending ini dicipta berdasarkan wawasan estetik sufi, yang memandang alunan bunyi musik tertentu dapat dijadikan sarana kenaikan menuju alam kerohanian. Gending Darma, konon, apabila didengar orang dapat menghanyutkan jiwa dan membawanya ke alam meditasi (tafakkur). Penabuhan gending ini pernah menggagalkan rencana perampokan gerombolan bandit di Surabaya. Manakala gending ini ditabuh oleh Sunan Bonang, para perampok itu terhanyut ke alam meditasi dan lupa akan rencananya melakukan perampokan. Keesokannya pemimpin bandit dan anak buahnya menghadap Sunan Bonang, dan menyatakan diri memeluk Islam.
Sunan Bonang bersama Sunan Kalijaga dan lain-lain, jelas bertanggung jawab bagi perubahan arah estetika Gamelan. Musik yang semula bercorak Hindu dan ditabuh berdasarkan wawasan estetik Sufi. Tidak mengherankan gamelan Jawa menjadi sangat kontemplatif dan meditatif, berbeda dengan gamelan Bali yang merupakan warisan musik Hindu. Warna sufistik gamelan Jawa ini lalu berpengaruh pada gamelan Sunda dan Madura. Sunan Bonang juga menambahkan instrumen baru pada gamelan. Yaitu bonang (diambil dari gelarnya sebagai wali yang membuka pesantren pertama di Desa Bonang). Bonang adalah alat musik dari Campa, yang dibawa dari Campa sebagai hadiah perkawinan Prabu Brawijaya dengan Putri Campa, yang juga saudara sepupu Sunan Bonang. Instrumen lain yang ditambahkan pada gamelan ialah rebab, alat musik Arab yang memberi suasana syahdu dan harus apabila dibunyikan. Rebab, yang tidak ada pada gamelan Bali, sangat dominan dalam gamelan Jawa, bahkan didudukkan sebagai raja instrumen.
Sebagai Imam pertama Masjid Demak, Sunan Bonang bersama wali lain, terutama murid dan sahabat karibnya Sunan Kalijaga, sibuk memberi warna lokal pada upacara-upacara keagamaan Islam seperti Idul Fitri, perayaan Maulid Nabi, peringatan Tahun Baru Islam (1 Muharram atau 1 Asyura) dan lain-lain. Dengan memberi warna lokal maka upacara-upacara itu tidak asing dan akrab bagi masyarakat Jawa.
Syair Islam pun akan mulus dan ajaran Islam mudah diresapi.Toh, menurut Sunan Bonang, kebudayaan Islam tidak mesti kearab-araban. Menutupi aurat tidak mesti memakai baju Arab, tetapi cukup dengan memakai kebaya dan kerudung.
Di antara upacara keagamaan yang diberi bungkus budaya Jawa, yang sampai kini masih diselenggarakan ialah upacara Sekaten dan Grebeg Maulid. Beberapa lakon carangan pewayangan yang bernapas Islam juga digubah oleh Sunan Bonang bersama-sama Sunan Kalijaga.
Di antaranya Petruk Jadi Raja dan Layang Kalimasada.
Setelah berselisih paham dengan Sultan Demak I, yaitu Raden Patah, Sunan Bonang mengundurkan diri sebagai Imam Masjid Kerajaan. Ia pindah ke desa Bonang, dekat Lasem, sebuah desa yang kering kerontang dan miskin. Di sini ia mendirikan pesantren kecil, mendidik murid-muridnya dalam berbagai keterampilan di samping pengetahuan agama. Di sini pula Sunan Bonang banyak mendidik para mualaf menjadi pemeluk Islam yang teguh. Suluk-suluknya seperti Suluk Wujil, menyebutkan bahwa ia bukan saja mengajarkan ilmu fikih dan syariat serta teologi, melainkan juga kesenian, sastra, seni kriya, dan ilmu tasawuf. Tasawuf diajarkan kepada siswa-siswanya yang pandai, jadi tidak diajarkan kepada sembarangan murid.
Keahliannya di bidang geologi dipraktekkan dengan menggali banyak sumber air dan sumur untuk perbekalan air penduduk dan untuk irigasi pertanian lahan kering. Sunan Bonang juga mengajarkan cara membuat terasi, karena di Bonang banyak terdapat udang kecil untuk pembuatan terasi. Sampai kini terasi Bonang sangat terkenal, dan merupakan sumber penghasilan penduduk desa yang cukup penting.
Karya dan Ajaran
Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup banyak. Di antaranya sebagaimana disebut B Schrieke (1913), Purbatjaraka (1938), Pigeaud (1967), Drewes (1954, 1968 dan 1978) ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain. Satu-satunya karangan prosanya yang dijumpai ialah Wejangan Seh Bari. Risalah tasawufnya yang ditulis dalam bentuk dialog antara guru tasawuf dan muridnya ini telah ditranskripsi, mula-mula oleh Schrieke dalam buku Het Boek van Bonang (1913) disertai pembahasan dan terjemahan dalam bahasa Belanda, kemudian disunting lagi oleh Drewes dan disertai terjemahan dalam bahasa Inggris yakni The Admonition of Seh Bari (1969).
Sedangkan Suluk Wujil ditranskripsi Purbatjaraka dengan pembahasan ringkas dalam tulisannya “Soeloek Woedjil: De Geheime leer van Soenan Bonang” (majalah Djawa no. 3-5, 1938). Melalui karya-karyanya itu kita dapat memetik beberapa ajarannya yang penting dan relevan. Seluruh ajaran Tasawuf Sunan Bonang, sebagai ajaran Sufi yang lain, berkenaan dengan metode intuitif atau jalan cinta (isyq) pemahaman terhadap ajaran Tauhid; arti mengenal diri yang berkenaan dengan ikhtiar pengendalian diri, jadi bertalian dengan masalah kecerdasan emosi; masalah kemauan murni dan lain-lain.
Cinta menurut pandangan Sunan Bonang ialah kecenderungan yang kuat kepada Yang Satu, yaitu Yang Mahaindah. Dalam pengertian ini seseorang yang mencintai tidak memberi tempat pada yang selain Dia. Ini terkandung dalam kalimah syahadah La ilaha illa Llah. Laba dari cinta seperti itu ialah pengenalan yang mendalam (makrifat) tentang Yang Satu dan perasaan haqqul yaqin (pasti) tentang kebenaran dan keberadaan-nya. Apabila sudah demikian, maka kita dengan segala gerak-gerik hati dan perbuatan kita, akan senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh-Nya. Kita menjadi ingat (eling) dan waspada.
Cinta merupakan, baik keadaan rohani (hal) maupun peringkat rohani (maqam). Sebagai keadaan rohani ia diperoleh tanpa upaya, karena Yang Satu sendiri yang menariknya ke hadirat-Nya dengan memberikan antusiasme ketuhanan ke dalam hati si penerima keadaan rohani itu. Sedangkan sebagai maqam atau peringkat rohani, cinta dicapai melalui ikhtiar terus-menerus, antara lain dengan memperbanyak ibadah dan melakukan mujahadah, yaitu perjuangan batin melawan kecenderungan buruk dalam diri disebabkan ulah hawa nafsu. Ibadah yang sungguh-sungguh dan latihan kerohanian dapat membawa seseorang mengenal kehadiran rahasia Yang Satu dalam setiap aspek kehidupan. Kemauan murni, yaitu kemauan yang tidak dicemari sikap egosentris atau mengutamakan kepentingan hawa nafsu, timbul dari tindakan ibadah. Kita harus menjadikan diri kita masjid yaitu, tempat bersujud dan menghadap kiblat-Nya, dan segala perbuatan kita pun harus dilakukan sebagai ibadah. Kemauan mempengaruhi amal perbuatan dan perilaku kita. Kemauan baik datang dari ingatan (zikir) dan pikiran (pikir) yang baik dan jernih tentang-Nya.
Dalam Suluk Wujil, yang memuat ajaran Sunan Bonang kepada Wujil pelawak cebol terpelajar dari Majapahit yang berkat asuhan Sunan Bonang memeluk agama Islam sang — wali bertutur:
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya
Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang menentukan yang material, bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia menyangka yang material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:
Jangan meninggikan diri
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.
Dalam Suluk Ing Aewuh ia menyatakan:
Perkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
Relevansi dan Pengaruh
Jelas sekali bahwa Sunan Bonang mengajarkan tasawuf positif dengan menekankan pentingnya ikhtiar dan kemauan (kehendak) dalam mencapai cita-cita.
Pengaruh ajaran ini juga terasa pula pada pandangan hidup dan budaya masyarakat muslim pesisir, khususnya di Jawa Timur dan Madura. Penduduk muslim Jawa Timur dan Madura sejak lama ialah pengikut madzab Syafii yang patuh dengan kecenderungan tasawuf yang kuat. Namun mereka juga memiliki etos kerja keras dan akrab dengan budaya dagang.
Tasawuf yang diresapi dan dipahami ternyata bukan tasawuf yang eskapis dan pasif. Sebaliknya yang dihayati ialah tasawuf yang aktif dan militan; aktif dan militan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, dan juga dalam kehidupan agama dan kebudayaan.
Pengaruh penting lain ajaran Sunan Bonang ialah pada pemikiran kebudayaan termasuk dalam seni atau wawasan estetik. Sunan Bonang berpendapat bahwa agama apa pun, termasuk Islam, dapat tersebar cepat dan mudah diresapi oleh masyarakat, apabila unsur-unsur penting budaya masyarakat setempat dapat diserap dan diintegrasikan ke dalam sistem nilai dan pandangan hidup agama bersangkutan.
 Ada kitab yang disebut Suluk Sunan Bonang yang berbahasa prosa Jawa Tengah-an, tetapi isinya mengenai hal-hal agama islam. di mana kalimatnya agak terpengaruh oleh bahasa Arab. Besar kemungkinan kita ini adalah berisi kumpulan atau himpunan catatan dari pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan oleh Sunan Bonang semasa hidupnya kepada murid-muridnya. Di dalam dongeng-dongeng diceritakan,.bahwa pada suatu ketika pernah ada seorang pendita hindu yang datang untuk mengajak berdebat dengan sunan bonang, bahkan kemudian pendeta hindu itupun akhirnya bertaubat serta menyatakan dirinya masuk ke dalam agama Islam.
Pada masa hidupnya dikatakan bahwa Sunan Bonang itu pernah belajar ke Pasai. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan bangsawan dari keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak sebagai tempat berkumpul bagi para murid-muridnya.
Sunan Bonang perjuangannya diarahkan kepada menanamkan pengaruh ke dalam. Siasat dari Sunan Bonang adalah memberikan didikan Islam kepada Raden Patah putera dari Brawijaya V, dari kerajaan Majapahit, dan menyediakan Demak sebagai tempat untuk mendirikan negara Islam. adalah tampak bersifat politis dan Sunan Bonang rupanya berhasil cita-citanya mendirikan kerajaan Islam di Demak. Hanya sayang sekali harapan beliau agar supaya Demak dapat menjadi pusat agama Islam untuk selama-selamanya kiranya tidak berhasil.
  
·        Kuburnya ada dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita segera disebarkan ke seluruh tanah jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau dimakamkan di dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah tertinggal satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.
Dengan demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan diantara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang dari segala penjuru  tanah air.


No comments:

Post a Comment