·
Apa yang Dikatakan Rasullullah SAW tentang Umar bin
Khaththab
Hampir dipastikan semua
umat islam akan mengenal sosok Umar bin Khaththab RA, keberanian, keadilan,
kecerdasan, sikap kritis, keras dan ketegasannya,sekaligus kelembutan,
kesedihan dan mudah tersentuh, adalah dua kondisi berlawanan yang menyatu dalam
pribadi Umar. Terutama keberaniannya, telah terkenal sejak dia belum memeluk
islam, jagoan dan ahli berkelahi yang selalu memenangkan pertandingan adu
kekuatan di Pasar Ukazh. Namun keberanian dan kekuatan ini pulalah yang
akhirnya mengantarkan pada Hidayah Allah SWT, ketika membentur keberanian dan
kekuatan iman yang dimiliki adiknya, Fathimah binti Khaththab.
Kisah keislamannya ini
berawal ketika tokoh-tokoh kafir Qureisy seperti Abu Jahal bin Hisyam, Uqbah
bin Nafik dll.nya gagal membunuh Nabi SAW, sementara dakwah islam semakin
meluas, dan beberapa orang sahabat berhasil hijrah ke Habsyi, dan beribadah
dengan tenang di bawah lindungan Raja Najasyi. Sebagai jagoan terkuat di
Makkah, Umar merasa harus ia sendiri yang membunuh Muhammad, yang dianggapnya
telah murtad dan memecah belah kaumQureisy serta memaki dan menghina agama
nenek moyangnya.
Umar pergi ke rumah Al
Arqam, tempat RasulullahSAW mengajarkan islam kepada sahabat-sahabat beliau. Di
tengah perjalanan ia bertemu Nu'aim bin Abdullah, yang menanyakan kepergiannya
dengan pedang terhunus. Begitu mengetahui niatnya untuk membunuh Rasullullah
SAW, Nu'aim justru mencela Umar, "Hendaknya engkau meluruskan urusan
keluargamu dulu sebelum urusan Bani Manaf. Sesungguhnya adikmu sendiri Fathimah
binti Khaththab dan suaminya yang juga anak pamanmu, Sa'id bin Zaid telah mengikuti
ajaranMuhammad, merekalah yang harus engkau selesaikan urusannya."
Betapa geramnya Umar
mendengar penjelasan Nu'aim bin Abdullah, dibelokkanlah langkahnya menuju rumah
Sa'id bin Zaid dengan kemarahan yang memuncak. Saat itu, di rumah Sa'id juga
ada Khabbab ibnu Aratt yang sedang mengajarkan ayat-ayat Al Qur'an pada mereka.
Mendengar kedatangan Umar, Khabbab langsung bersembunyi, Sa'id membukakan pintu
dan Fathimah menyembunyikan lembaran mushaf Al Qur'an.
Begitu melihat Sa'id,
kemarahan Umar tidak bisa dibendung lagi, seolah kemarahannya kepada Nabi SAW
ditumpahkan semua kepada adik iparnya tersebut. Dibentaknya Sa''id sebagai
murtad dan memukulnya hingga terjatuh. Fathimah mendekat untuk membela
suaminya, tapi dipukul oleh Umar pada wajahnya. Sungguh keadaan yang
mengenaskan dan membahayakan bagi kedua suami istri tsb. Umar sudah menduduki
dada Sa’id, satu pukulan telak dari jagoan Ukazh itu bisa jadi akan
membunuhnya.
Namun tiba-tiba terdengar
pekikan keras dari Fathimah, "Hai musuh Allah, kamu berani memukul saya
karena saya beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah apa yang engkau suka,
karena saya akan tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa
Muhammad adalah Rasullullah…!"
Umar tersentak bagai
disengat listrik, pekikan itu seakan menembus ulu hatinya…terkejut dan heran.
Umar bin Khaththab adalah seorang lelaki yang sering dilukiskan sebagai :
"Jika ia berbicara, maka orang akan terpaksa mendengarkannya, jika
berjalan, langkahnya cepat bagai dikejar orang, jika berkelahi maka pukulannya
adalah pukulan maut yang mematikan."
Tetapi ternyata ada orang
yang berani menentangnya, seorang wanita lagi, dan adiknya pula, kekuatan apa
yang bisa membuatnya berani menentang kalau tidak kekuatan yang maha hebat,
kekuatan iman…mulailah percik hidayah menghampirinya. Kemarahannya mereda,
dimintanya lembar-lembar Al Qur'an yang dipegang Fathimah, tetapi sekali lagi
jagoan duel di Pasar Ukazh ini seakan tak berkutik ketika adiknya tsb. Berkata
dengan tegas, "Tidak mungkin, ia tidak boleh disentuh kecuali oleh
orang-orang yang suci! Pergilah, mandilahlah dan bersuci..!!”
Bagai anak kecil yang
penurut, Umarpun berlalu, sesaat kemudian kembali dengan jenggot yang
mengucurkanair. Diberikanlah lembaran mushaf yang berisi Surah Thaha ayat 1 -
6. Makin kuatlah hidayah Allah membuka mata hatinya. Setelah ayat-ayat tersebut
dibacanya, meluncurlah kata-kata dari mulutnya, "Tidak pantas bagi Allah
yang ayat-ayatnya sebegini indahnya, sebegini mulianya mempunyai sekutu yang
harus disembah, tunjukkanlah padaku dimana Muhammad?"
Sebuah pernyataan yang
menunjukkan perubahan sikap dan keyakinannya selama ini terhadap Nabi SAW.
Khabbab bin Aratt pun keluar dari persembunyiannya dan berkata,
"Bergembiralah Umar, sesungguhnya Nabi telah bersabda tentang dirimu,
Beliau berdoa : Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar,
Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khaththab, dan engkau dipilih Allah
untuk memperkuat Islam."
Khabbab mengantarkan Umar
ke rumah Al Arqam di dekat Shafa. Di sana ia ditemui Nabi SAW, Beliau memegang
ujung baju Umar dan berkata,"Masuklah kamu ke dalam Islam wahai Ibnu Al
Khaththab. Ya Allah, berilah hidayah kepadanya!"
Umar pun bersyahadat, maka
bertakbirlah para sahabat yang hadir, dengan takbir yang bisa didengar hingga
sepanjang jalan di kotaMekkah, bahkan juga sampai ke Ka.bah. Benarlah doa Nabi
SAW, keislaman Umar mengguncangkan kaum musyrik dan menorehkan kehinaan bagi
mereka, tetapi sebaliknya memberikan kehormatan, kekuatan dan kegembiraan bagi
orang muslim.
Tidak seperti muallaf sebelumnya
yang umumnya menyembunyikan keislamannya, Umar sebaliknya. Diingatnya siapa
yang paling memusuhi Nabi SAW, siapa lagi kalau bukan Abu Jahal. Umar
mendatangi rumahnya dan menggebrak pintunya. Begitu Abu Jahal keluar, Umar
memberitahukan keislamannya, Abu Jahal menutup pintu dan masuk kembali ke
rumahnya. Begitupun ketika diberitahukan kepada pamannya, Al Ash bin Hasyim,
dia justru masuk ke rumah. Biasanya mereka berdua ini kalau bertemu dengan
orang yang masuk Islam, mereka menangkap dan menyiksanya.
Ketika kembali kepada Nabi
SAW, Umar menginginkan orang-orang Islam untuk tidak sembunyi-sembunyi lagi
karena menurut pendapatnya, mereka ini dalam kebenaran, hidup ataupun mati.
Pendapatnya ini dibenarkan oleh Nabi SAW dan beliau menyetujui keinginan Umar.
Beliau mengeluarkan
orang-orang muslim dalam dua kelompok, kelompok pertama dipimpin Hamzah, yang
telah memeluk Islam tiga hari mendahului Umar, dan kelompok kedua dipimpin Umar
sendiri.
Orang-orang musyrikhanya terpana tidak
berani berbuat apa-apa seperti sebelumnya, tampak jelas kesedihan di mata
mereka. Karena itulah Rasulullah menggelari Umar dengan Al Faruq, pemisah
antara yang haq dan yang bathil. Sejak saat itu orang orang Islam bisa
beribadah dan membuat majelis di dekat Ka'bah, thawaf dan berdakwah, serta
melakukan pencegahan terhadap siksaan-siksaan.
·
Sikap Umar atas Perjanjian Hudaibiyah
Ketika perjanjian
Hudaibiyah disetujui antara pihak Quraisy dan Nabi SAW, sebagian besar
orang-orang Islam merasa kecewa, Umar sempat berkata, "Sesungguhnya Rasulullah
telah berdamai dan mengadakan perjanjian dengan penduduk Makkah, dalam
perjanjian itu, Nabi SAW telah memberikan syarat yang kelihatannya lebih
memihak pada kaum Quraisy. Seandainya Nabi mengangkat seorang amir yang
berkuasa atasku, dan ia membuat perjanjian yang seperti itu, aku tidak akan
mendengarkannya dan tidak akan taat kepadanya."
Secara umum, sikap Umar
dan sebagian besar orang-orang Islam dapat dipahami, selain karena gagalnya
niat untuk umrah, padahal sudah sangat dekat dengan Makkah, sementara golongan
lain tidak dihalangi, terlebih adalah klausul ke empat dari perjanjian tsb.,
yaitu : Jika ada orang-orang Quraisy yang datang kepada Nabi SAW tanpa seijin
walinya, walaupun ia telah memeluk Islam, Nabi SAW harus mengembalikannya
kepada mereka. Tetapi jika ada orang Islam yang meninggalkan Nabi SAW dan
bergabung dengan orang-orang Quraisy, maka dia tidak boleh diminta untuk
dikembalikan kepada Nabi SAW.
Klausul ini tampak nyata
"kerugiannya" ketika datang salah seorang Quraisy yang telah masuk
Islam, Abu Jandal bin Suhail bin Amr dalam keadaan terbelenggu datang kepada
Nabi SAW untuk meminta perlindungan. Ketika itu pihak kaum Quraisy, Suhail bin
Amr, langsung meminta agar Abu Jandal, yang tidak lain anaknya sendiri,
dikembalikan lagi kepadanya.
Walaupun dengan berbagai
argumen, ternyata Rasulullah tidak bisa mempertahankan Abu Jandal untuk bersama
umat Islam lainnya. Saat itu, Umar mendekati Abu Jandal menasehatinya tetap
bersabar, tetapi juga mendekatkan gagang pedangnya kepada Abu Jandal.
Sebenarnya ia berharap Abu Jandal akan mengambil pedang tsb. dan membabatkan ke
tubuh ayahnya, tetapi itu tidak dilakukan oleh Abu Jandal.
Sikapnya yangtemperamental
dan tegas dengan kebenaran, memaksanya untuk menemui Rasulullah SAW setelah
perjanjian ini dikukuhkan. Ia berkata kepada Rasulullah SAW, "Ya
Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka di atas
kebathilan?"
Nabi membenarkan.
"Bukankah korban
meninggal di antara kita berada di surga,dan korban mati di antara mereka di
neraka." Kata Umar lagi.
Nabi SAW membenarkan lagi.
Umar berkata lagi, "Lalu mengapa kita harus merendahkan agama kita dan
kembali, padahal Allah belum memberikan keputusan antara kita dan
mereka.?"
Nabi SAW menjawab,
"Wahai Ibnul Khaththab, aku adalah Rasul Allah, dan aku tidak akan
mendurhakaiNya, Dia penolongku, dan sekali-kali Dia tidak akan menelantarkan
aku."
Bukan namanya Umar al
Faruq, kalau ia berhenti dengan penjelasan seperti itu, ia berkata lagi,
"Bukankah engkau telah memberitahukan kepada kami, kita akan mendatangi
Ka'bah dan Thawaf disana?"
"Apakah aku pernah
menjanjikan kita melakukannya tahun ini?" Kata Nabi SAW.
"Tidak, Ya
Nabi…!" Jawab Umar.
Maka Nabi SAW menegaskan,
"Kalau begitu, engkau akan pergi ke Ka'bah dan thawaf disana!!"
Walau tidak bisa lagi
mendebat Nabi SAW, kemudian Umar mendatangi Abu Bakar dan menyampaikan
keresahan yang dirasakannya dan sebagian besar orang Islam lainnya. Tetapi Abu
Bakar memberikan jawaban yang sama dengan Nabi SAW, dan akhirnya ia menasehati
Umar, "Patuhlah engkau kepada perintah dan larangan beliau sampai engkau
meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran."
Tak lama berselang,
turunlah wahyu Allah, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu
kemenangan yang nyata." (Al Fath 1). Nabi SAW membacakan ayat ini dan
ayat-ayat selanjutnya kepada Umar, barulah hatinya merasa tenang.
Berlalulah waktu, Umar
menyadari apa yang dilakukannya kepada Nabi SAW, dan tak habisnya ia menyesali
sikapnya. Ia ungkapkan kegundahan hatinya dengan kata-katanya, "Setelah itu
aku terus menerus melakukan berbagai amal, bersedekah, berpuasa, shalat dan
berusaha membebaskan dari apa yang kulakukan saat itu. Aku selalu dibayangi
dengan peristiwa itu, dan aku berharap semoga ini merupakan kebaikan (sebagai
penebus sikapku saat itu)"
·
Kelembutan Hati Umar
Rasa
kasihan kepada kepada pemeluk non Islam
Sikap tegas dan
temperamental Umar bin Khaththab ternyata berubah drastis ketika ia telah
dibaiat menjadi khalifah, pernah ia melewati biara seorang rahib, yang kemudian
memanggilnya. Ketika melihat kehidupannya yang susah dan semangatnya dalam
zuhud -meninggalkan segala kesenangan dunia- Umar jadi menangis.
Begitu diberitahukan kalau
dia seorang Nashrani, Umar berkata, "Aku tahu dia seorang Nashrani, aku
kasihan kepadanya. Sayang sekali ia dalam kelelahan dan kepayahan dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan di akhirat nanti ia masuk neraka."
Pernah dikabarkan kepada
Umar yang saat itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, bahwa ada seseorang yang
murtad, lalu oleh pasukan yang dipimpin oleh Abu Musa RA, orang tersebut
dihukum mati. Umar menyesalkan tindakan tsb. Dan berkata, "Apakah engkau
telah menahannya selama tiga hari dan memberinya roti, serta memintanya untuk
kembali kepada Islam dan bertaubat, kembali kepada perintah Allah? Ya Allah,
sesungguhnya aku tidak hadir saat itu, tidak memerintahkannya, dan tidak ridha
atas apa yang mereka lakukan jika kabar ini sampai kepadaku sebelumnya."
Walaupun secara hukum
syariat, apa yang dilakukan oleh Abu Musa sebagai komandan pasukan tidak salah,
tetapi tetap saja hal itu meresahkan Umar sebagai Amirul Mukminin, yang
sebenarnya harus melindungi semua manusia yang berada di bawah pemerintahannya.
Menolong
persalinan keluarga pengembara
Telah menjadi kebiasaan
Umar sebagai Amirul Mukminin untuk berkeliling kota saat malam hari menjelasng.
Suatu ketika ia menemukan suatu kemah tua dari kulit unta di suatu padang, yang
sebelum ini tidak pernah ditemuinya. Di luarnya ada seorang lelaki duduk
termenung. Umar menghampirinya, dan bertanya,
"Assalamualaikum,
dari mana anda datang?"
"Wahai tuan,"
Kata orang itu, "Saya orang asing disini yang datang dari hutan, saya
hendak menemui Amirul Mukminin untuk mengharap belas kasihannya."
Tampaknya orang tersebut
belum pernah bertemu dan mengenali wajah Umar, dan Umar tidak mau membuka jati
dirinya. Ia berkata, "Katakanlah keperluanmu, aku bersedia membantu,"
Tiba-tiba didengarnya ada
suara rintihan dari dalam kemah, Umar menanyakannya lagi, tetapi orang tersebut
malah menyuruh Umarpergi, tanpa menjelaskannya. Setelah Umar terus mendesak,
orang tersebut berkata, "Jika benar engkau ingin membantu, baiklah
kuberitahukan. Di dalam kemah tersebut adalah istriku yang mengerang kesakitan
karena akan melahirkan."
"Apakah ada orang
lain yang sedang merawatnya?" Tanya Umar.
Orang tersebut menggeleng
sedih. Mendengar jawaban ini, Umar bergegas pulang dan menemui istrinya, Umi
Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. Ia menceritakan secara
apa yang dilihatnya, dan berkata, "Wahai istriku, sesungguhnya Allah SWT
membuka jalan bagimu, jalan yang mulia di sisi Allah, agar engkau memperoleh
peluang berbuat kebaikan malam ini."
Umar memintanya membantu
persalinan pengembara tsb. dan istrinya setuju. Ia mempersiapkan peralatan yang
dibutuhkan dan Umar juga membawa perbekalan, kemudian bergegas menuju
padangdimana suami istri pengembara itu berada. Sampai di sana, Umi Kultsum
langsung masuk kemah dan menolong persalinan sang istri, sedang Umar menyalakan
api kemudian memasak makanan untuk dua orang tersebut.
Tidak berapa lama, terdengar
seruan Umi Kultsum dari dalam kemah, “Ya Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah
(selamat) kepada saudaramu itu, karena ia memperoleh seorang anak
laki-laki."
Mendengar ucapan dari
dalam kemah tersebut, si lelaki jadi terkejut. Tidak disangkanya kalau yang
bersusah payah membantunya ini ternyata Umar, Amirul Mukminin yang sempat
diacuhkannya. Umar meminta istrinya membawa masuk makanan bagi sang ibu baru
tsb. Dan terhadap si lelaki yang tampak terkejut, ia berkata, "Tidak
mengapa wahai Saudara, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu.
Datanglah besok menemuiku, aku akan mencoba menolongmu!"
Setelah semuanya selesai,
Umar dan Istrinya, Ummi Kultsum berpamitan.
·
Umar Menemukan Menantunya
Salah satu kebiasaan Umar
bin Khaththab saat menjadi khalifah, adalah berkeliling kota di waktu malam
untuk mengetahui keadaan umat Islam. Ia khawatir kalau ada di antara mereka
yang merasa terdzalimi karena kepemimpinannya, dan akan memberatkan hisabnya di
akhirat.
Dalam salah satu
perjalanannya menjelang fajar, ia mendengar pembicaraan seorang ibu dan anak.
Ibunya meminta anak perempuannya untuk mencampur susu yang akan dijual pagi
harinya dengan air. Tetapi sang anak dengan tegas menolak dan berkata,
"Bagaimana mungkin aku mencampurnya, sedangkan Amirul Mukminin telah
melarangnya!"
Tetapi ibunya tetap saja
menyuruh anaknya, karena kebanyakan penjual susu melakukan itu, apalagi Amirul
Mukminin Umar bin Khaththab tidak akan mengetahuinya. Tetapi putrinya itu
bertahan untuk tidak mencampurinya dan berkata, "Jika Umar tidak
melihatnya, pasti Tuhannya Umar melihatnya, aku tidak mau melakukannya karena
sudah dilarang."
Umar begitu tersentuh
dengan ucapan anak perempuan itu. Pagi harinya ia menyuruh putranya, Ashim
untuk mencari tahu tentang keluarga tersebut, yang ternyata salah seorang dari
Bani Hilal. Umar berkata pada anaknya, "Wahai anakku, nikahlah dengannya,
sesungguhnya ia yang pantas melahirkan keturunan seorang penunggang kuda yang
akan memimpin Arab."
Ashim memenuhi permintaan
ayahnya tersebut menikah dengan anak gadis penjual susu. Dari pernikahannya
itu, istrinya melahirkan seorang anak perempuan, yang kemudian dinikahi Abdul
Aziz bin Marwan. Dari pernikahan ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang
pemimpin adil dan jujur, tak ubahnya Khulafaur Rasyidin yang empat, walaupun ia
tumbuh dan dewasa di kalangan Bani Umayyah yang mengagungkan kemewahan dan
kekuasaan. Seorang pemimpin yang zuhud, sederhana dan wara' sebagaimana kakek
buyutnya, Umar bin Khaththab, sehingga ia sering disebut Khulafaur Rasyidin
yang ke lima.
·
Karamah Umar bin Khaththab
Memperingatkan
Pasukan Perang dari Mimbar Jum'at
Suatu ketika Umar bin
Khaththab tengah berkhutbah di Masjid Madinah, tiba-tiba berseru lantang,
"Wahai pasukan Ibnu Hishn, gunung! gunung! Menjauhlah dari gunung! Barang
siapa meminta srigala menggembalakan kambing, ia dzalim!"
Sesaat kemudian ia
meneruskan khutbahnya. Tentu saja para jamaah jum'at saat itu saling
berpandangan tak mengerti, apa maksud dari Amirul Mukminin dengan perkataannya
tsb. Usai shalat, Ali bin Abi Thalib menghampiri Umar dan menanyakan apa yang
terjadi.
"Engkau
mendengarnya?" Tanya Umar.
"Tentu saja, dan juga
semua orang di dalam masjid!" Kata Ali.
Umar menjelaskan, kalau
dengan hatinya ia melihat orang-orang musyrikin bersiap menyerang pasukan
muslim melalui pundak-pundak mereka, mereka akan melewati gunung. Jika orang
mukmin berpaling dari gunung, mereka dapat menyerang dan menang, tetapi jika
mereka melintasi gunung, mereka yang akan hancur. Karena itu aku berteriak
memperingatkan mereka.
Sebulan kemudian ada
pembawa berita ke Madinah tentang kemenangan pasukan muslimin. Pada hari
peperangan itu terdengar suara seperti suara Umar memperingatkan, "Wahai
pasukan Ibnu Hishn, gunung! Gunung ! Menjauhlah dari gunung!" Mereka
mengikuti suara tersebut sehingga Allah memberi kemenangan kepada mereka.
Berkirim
Surat kepada Sungai Nil
Mesir ditaklukkan pasukan
muslim dan Amru bin Ash diangkat sebagai Gubernur Mesir. Suatu saat ia
didatangi sekelompok penduduk sekitar sungai Nil karena sungai itu sedang
kering. Mereka berkata, "Wahai Gubernur, saat ini sungai Nil sedang
kering. Kami biasa melakukan suatu tradisi, dan sungai Nil itu tidak akan
mengalirkan air kecuali jika kami memenuhi tradisi tersebut."
Waktu Amr bin Ash
menanyakan tentang tradisi tersebut, mereka menjelaskan, bahwa setelah berlalu
sebelas hari dari bulan tersebut, mereka mencari seorang gadis untuk
dikurbankan. Mereka meminta kerelaan orang tuanya, kemudian gadis ini didandani
dan diberi perhiasan yang paling indah, dan akhirnya dilemparkan ke sungai Nil
sebagai persembahan. Jika semua itu dilakukan, biasanya Nil akan mengalirkan
airnya lagi.
Tentu saja Amr bin Ash
melarang dilanjutkannya tradisi yang seperti itu, karena Islam menghancurkan
tradisi-tradisi jahiliah yang merusak. Kembalilah penduduk sekitar Nil ini ke
rumahnya masing-masing dan sungai itu tetap dalam keadaan kering, hingga hampir
saja mereka memutuskan untuk pindah.
Melihat keadaan yang
memprihatinkan masyarakat itu, Amru bin Ash mengirim surat pada Umar bin
Khaththab dan menceritakan keadaan tersebut. Umar membalas surat Amr bin Ash
dan membenarkan tindakan yang diambilnya untuk menghentikan tradisi kuno tsb.
Selain itu Umar juga menyelipkan suatu suratlain, yang ditujukan untuk sungai
Nil. Amr diminta untukmelemparkansurat tersebut ke dalam sungai Nil yang sedang
kering. Isi surattersebut adalah sebagai berikut :
"Dari hamba Allah,
Umar bin Khaththab, Amirul Mukminin, kepada hamba Allah Nil di Mesir, Amma
Ba'du. Jika engkau mengalir dari dirimu sendiri, maka janganlah kamu mengalir.
Namun jika Allah yang mengalirkan, maka mintalah kepada Dzat Yang Maha Kuat
untuk mengalirkanmu."
Amr melemparkan
surattersebut ke sungai Nil pada malam harinya, sehari sebelum peringatan hari
raya salib. Pada pagi harinya, sungai Nil telah terisi air sedalam enam belas
hasta hanya dalam semalam, dan mengalir terus hingga sekarang. Sungguh dengan
ijin Allah, tradisi kuno yang berjalan ratusan bahkan ribuan tahun telah
dihancurkan oleh secarik suratUmar bin Khaththab.
·
Kekhawatiran Umar sebagai Amirul Mukminin
"Cambuklah
aku sebagai tindakan balas"
Umar sedang sibuk dengan
suatu urusan penting, ketika seseorang datang untuk mengadukan kalau dirinya
didzalimi oleh seseorang. Umar yang merasa terganggu, menjadi marah dan
mencambuk orang tersebut, sambil berkata, "Ketika aku menyediakan waktu
untuk menerima pengaduan, engkau tidak datang. Sekarang ketika aku sedang sibuk
dengan suatu urusan penting, engkau datang mengganggu."
Menerima perlakuan ini,
orang itu berlalu meninggalkan Umar. Sesaat kemudian Umar sadar apa yang telah
dilakukannya. Sebagai seorang Amirul Mukminin, tidak seharusnya ia mendzalimi
orang yang mengadu kepadanya. Umarmengirim seseorang untuk menjemput orang
tersebut, ketika dia datang, Umar menyodorkan cambuk yang tadi dipakainya untuk
mencambuk, dan berkata,
"Cambuklah aku
sebagai tindakan balas, karena aku telah mendzalimimu!"
"Tidak!" Kata
orang itu, "Aku telah memaafkanmu karena Allah."
Umar menangis mendengar
jawaban itu, ia pulang dan mendirikan shalat dua rakaat, dan terus menerus
mengatakan pada dirinya sendiri dengan menangis, "Wahai Umar, dahulu
kedudukanmu rendah tetapi kini ditinggikan oleh Allah. Dahulu engkau sesat
tetapi kini diberi hidayah oleh Allah. Dahulu kamu hina tetapi kini Allah
memuliakan dan menjadikanmu seorang khalifah. Namun ketika salah seorang dari
mereka memohon keadilan, engkau malah memukul dan menyakitinya, hari kiamat
nanti, apa yang akan engkau katakan kepada Allah sebagai alasan?"
"Apa setiap orang
Islam mampu membeli tepung yang baik?"
Satu saat ketika sedang makan,
pembantunya memberitahukan kalau seorang sahabat, Utbah bin Abi Farqad datang
untuk menemuinya, dan Umar mengijinkannya. Utbah masuk dan duduk bersama Umar
dan dipersilahkan untuk makan roti bersamanya. Utbah kesulitan untuk menelan
roti tersebut karena terlalu keras, ia berkata, "Padahal engkau mampu
membeli makanan dari tepung yang empuk..!!"
"Apakah setiap orang
Islam mampu membeli tepung yang baik?" Tanya Umar.
"Tentu saja
tidak!" Kata Utbah.
"Sungguh
menyesal," Kata Umar, "Engkau menginginkan agar aku menghabiskan
seluruh kenikmatan hidupku di dunia ini?"
Memang telah menjadi
komitmien Umar ketika diba'iat sebagai Khalifah, "Kalau terjadi kelaparan
pada umat Islam, akulah orang pertama yang akan mengalami kelaparan. Dan jika
terjadi kemakmuran bagi umat Islam, aku adalah orang terakhir yang merasakan
kemakmuran itu."
Dan inilah yang dilihat
oleh sahabat Utbah, dan juga sahabat-sahabat lainnya, bagaimana Umar menjalani
kehidupannya sebagai khalifah.
"Bagaimana dan dari
mana asal susu ini?"
Suatu kali seseorang
membawakan segelas susu untuk Umar, Umar yang memang sedang kehausan segera
saja meminum susu tsb., tetapi dirasakannya ada yang aneh dengan susu tersebut,
iapun bertanya, "Bagaimana dan dari mana susu ini?
"Di hutan sana ada
seekor unta sedekah," Kata orang itu, "Ketika aku berjalan di sana,
orang-orang sedang memerah susu unta tersebut, mereka memberikan segelas susu
kepadaku, yang kemudian kuberikan kepadamu."
"Astaghfirullah,"
Kata Umar. Ia memasukkan tanganmya ke mulutnya, dan berusaha untuk memuntahkan
semua susu yang telah diminumnya. Ia tidak ingin ada barang syubhat yang masuk
ke perutnya.
"…Itu berarti aku
mendapatkan lebih dari hakku yang halal!"
Ketika Bahrain ditaklukan,
didatangkanlah sejumlah besar kesturi ke kotaMadinah. Umarpun berkata,
"Apakah ada di antara kalian yang mau menimbang dan membagi-bagikan
kesturi ini pada umat Islam?"
"Saya bersedia
menimbangnya!" Kata Atikah, yang tidak lain istri Umar sendiri.
Tetapi Umar mengabaikannya
dan sekali lagi mengulang pertanyaannya. Karena tidak ada yang menjawab, atau
bisa juga sungkan karena Atikah, istri Amirul Mukminin telah mengajukan diri,
sekali lagi Atikah yang menyatakan kesediaannya, dan Umarpun masih
mengabaikannya.
Ketika untuk ketiga
kalinya Atikah mengajukan dirinya, Umar berkata, "Aku tidak suka kamu
meletakkan kesturi itu di timbangan dengan tanganmu, kemudian kamu menyapukan
tangan yang berbau kesturi ke badanmu, karena itu berarti aku mendapatkan lebih
dari hakku yang halal."
"….Apakah engkau
mengira bahwa sabda Nabi SAW akan terjadi pada jamanku?"
Seusai perang Hunain,
ketika orang-orang Anshar merasa tidak puas dengan cara Nabi SAW membagi
ghanimah, beliau mengumpulkan mereka dan menjelaskan alasannya. Setelah itu
beliau bersabda, bahwa orang-orang Anshar suatu ketika akan menerima perlakuan
berat sebelah dan tidak adil dari mereka yang sedang berkuasa.
Suatu ketika Umar
membagi-bagikan pakaian kepada umat Islam. Usaid bin Hudair, salah seorang
tokoh sahabat Anshar, melihat seorang pemuda Quraisy memakai pakaian pemberian
Umar yang lebih bagus daripada yang diterimanya, iapun berkata, "Benarlah
Allah dan Rasulnya!!"
Ketika Umar diberitahu
tentang penuturan Usaid, segera saja ia menemui Usaid, yang saat itu sedang
shalat. Dengan sabar Umar menunggunya sampai selesai shalat, setelah itu ia
berkata, "Wahai Usaid, apakah engkau mengira bahwa sabda beliau itu (yakni
sabda beliau seusai Perang Hunain) akan terjadi pada jamanku ini? Sesungguhnya
pakaian itu telah aku berikan kepada seseorang yang mengikuti perang Badar dan Uhud,
dan juga Ba'iatul Aqabah, dan pemuda Quraisy itu telah membeli pakaian tersebut
darinya!"
Setelah mendengar
penjelasan tersebut, Usaid berkata, "Demi Allah, aku mengira hal itu tidak
akan terjadi pada jamanmu!!"
Dalam kasus yang sama,
Muhammad bin Maslamah RA, seorang sahabat Anshar juga, dua kali bertemu dengan
orang Quraisy yang berpakaian bagus, dan mereka berkata kalau diberi oleh
Amirul Mukminin, yakni Umar bin Khaththab. Sejenak kemudian ia bertemu seorang
Anshar yang berpakaian jelek, yang juga diberi oleh Umar. Maka, ketika ia masuk
ke dalam Masjid Nabi SAW, iapun berseru agak keras, "Allahu Akbar, sungguh
benarlah Allah dan RasulNya!"
Ibnu Maslamah mengulang
ucapannya tersebut sampai dua kali. Umar yang mendengar ucapannya tersebut
segera menghampirinya dan menanyakan maksudnya, tetapi Ibnu Maslamah menunda
menjawabnya hingga ia selesai shalat sunnah.
Usai shalat, ia menemui
Umar dan menceritakan apa yang ditemuinya dalam perjalanan, dan juga sabda Nabi
SAW kepada orang-orang Anshar setelah berakhirnya Perang Hunain, kemudian ia
berkata, "Sungguh aku tidak ingin dan tidak senang, sabda Nabi SAW
tersebut terjadi pada jamanmu ini!"
Umar menangis mendengar
penuturan tersebut, dan berkata, "Aku memohon ampunan kepada Allah,
sungguh aku tidak akan mengulanginya lagi!"
“...naiklah, ini
giliranmu…!!”
Pada tahun 16 hijriah,
pasukan muslim mengepung kota al Quds, di mana disana terdapat Baitul Maqdis
(Masjidil Aqsha), dan setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya gubernur al
Quds, Beatrice Sofernius bersedia menyerahkan kota tersebut, khususnya Baitul
Maqdis, tetapi langsung kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Karena itu
komandan pasukan mengirim suratuntuk meminta kehadiran Umar ke sana.
Umar langsung menanggapi
permintaan tersebut, ia berangkat dengan hanya seorang pembantunya dan satu
tunggangan (kuda atau onta). Ketika sampai di luar kota Madinah, Umar berkata
kepada pembantunya, “Wahai Ghulam, kita berdua hanya memiliki satu tunggangan.
Jika saya naik dan engkau berjalan kaki, artinya aku menzhalimimu. Jika engkau
naik dan aku berjalan kaki, engkau yang menzhalimiku. Jika kita berdua naik,
kita menzhalimi tunggangan kita…”
“Kalau begitu bagaimana
sebaiknya, ya Amirul Mukminin?”
Marilah kita bagi tiga
periode waktu, pertama aku yang menaikinya, kedua engkau yang menaikinya, dan
ketiga, biarlah tunggangan kita melenggang tanpa beban. Pelayannya tersebut
menyetujuinya. Umar memperoleh giliran pertama menaikinya, setelah waktu yang
disepakati habis, ganti sang pelayan yang menaikinya, dan etelah waktunya habis,
mereka berdua membiarkan tunggangannya bebas.
Begitulah giliran itu
bergulir terus, ketika telah memasuki pintu kota al Quds, ternyata bertepatan
dengan selesainya giliran Umar, dan ia turun sambil berkata kepada pembantunya,
“Kini giliranmu, naiklah!!”
Sang pembantu berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, engkau jangan turun dan saya tidak mungkin naik. Kita
telah sampai di kota tujuan, di sana ada peradaban, kemajuan dan berbagai
pemandangan modern. Jika kita datang dengan keadaan ini, saya naik sedang engkau
menuntun, tentu mereka akan merendahkan dan mentertawakan kita. Dan itu akan
mempengaruhi kemenangan kita!!”
Tetapi dengan tegas Umar
berkata, “Naiklah, ini giliranmu. Demi Allah, kalau memang waktunya giliranku,
aku tidak akan turun dan engkau tidak perlu naik!!”
Inilah memang ciri khas
Umar, ia takut berlaku zhalim dan bersikap tidak adil kalau harus tetap naik
tunggangan hanya karena telah memasuki kota al Quds. Ketika masyarakat kota
yang menyambut mereka di Babul Damaskus melihatnya, mereka langsung mengelu-elukan
sang pembantu yang menunggang dan mengabaikan Umar yang menuntun tunggangan.
Memang, dalam penampilan dan baju yang dikenakan, Umar tidaklah jauh berbeda
dengan pembantunya tersebut. Bahkan ada beberapa orang yang melakukan
penghormatan dengan sujud, sehingga pembantu itu memukulnya dengan tongkatnya,
sambil berkata, “Celaka kalian, angkatlah muka kalian, sungguh tidak boleh
bersujud kecuali kepada Allah semata..!!”
Ketika tiba di hadapan
gubernur Beatrice Sofernicus dan pasukan muslimin, barulah mereka tahu kalau
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab itu adalah yang berjalan menuntun
tunggangan, karena mereka menyapa dan menyalaminya.
·
Gaji Umar bin Khaththab sebagai Amirul Mukminin
Seperti halnya yang ia
sarankan kepada Abu Bakar, setelah diba'iat sebagai khalifah, Umar tidak
mungkin tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Karena itu ia
mengumpulkan masyarakat Madinah seraya berkata pada mereka, "Dahulu aku
berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluargaku, sekarang kalian telah memberiku
kesibukan dalam menangani urusan ini, bagaimana aku akan memenuhi kebutuhan
hidup keluargaku?"
Merekapun setuju
memberikan tunjangan kepada Umar sebagaimana dahulu diberikan kepada Abu Bakar,
tetapi berbagai usulan yang berbeda muncul dalam menentukan jumlahnya. Setelah
berbagai perbedaan pendapat tanpa kepastian, Umar berpaling kepada Ali bin Abi
Thalib, "Bagaimana pendapatmu, wahai Ali?"
"Ambillah uang
sekedar yang bisa memenuhi mencukupi kebutuhan keluargamu!!" Kata Ali.
Dengan senang hati, Umar
menerima usulan Ali ini. Berlalulah waktu, Islam memperoleh kejayaan
dimana-mana sehingga harta benda mengalir ke Madinah memenuhi Baitul Mal.
Beberapa sahabat, di antaranya Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin
Ubaidillah termasuk Ali bin Abi Thalib berkumpul dalam satu majelis untuk
mengusulkan kenaikan tunjangan bagi Umar, karena tunjangan tersebut dinilai
terlalu kecil, terlebih jika melihat begitu banyaknya kekayaan negara dalam
Baitul Mal.
Kesepakatan tercapai,
tetapi mereka takut untuk menyampaikan hal ini pada Umar. Karena itu mereka
meminta tolong kepada Hafshah RA, putri Umar yang juga Istri Nabi SAW, untuk
menyampaikan usulan ini pada Umar, tetapi mereka berpesan agar merahasiakan
nama-nama mereka. Ketika Hafshah mengemukakan usul ini, Umar menjadi marah.
"Siapa yang
mengajukan usul tersebut?" Kata Umar dengan nada tinggi.
"Bagaimana pendapat
dulu, ayah?" Kata Hafshah mengelak, karena ia telah berjanji untuk
merahasiakannya.
"Seandainya aku tahu
nama-nama mereka, niscaya aku pukul wajahnya," Kata Umar,
"Katakan padaku
Hafshah, apakah pakaian terbaik Nabi SAW yang ada di rumahmu?"
"Sepasang pakaian
berwarna merah, yang dipakai pada hari Jum'at dan ketika menerima tamu…"
"Makanan apa yang
paling lezat, yang pernah dimakan Nabi SAW di rumahmu?" Tanya Umar lagi.
"Roti yang terbuat
dari tepung kasar, yang dicelup ke dalam minyak. Suatu kali saya oleskan
sisa-sisa mertega, dan beliau memakannya penuh nikmat dan membagi-bagikannya
pada orang lain…"
"Alas tidur apa yang
paling baik, yang pernah dipakai Nabi SAW di rumahmu?" Tanya Umar lagi.
"Sehelai kain tebal,
yang pada musim panas dilipat empat, dan pada musim dingin dilipat dua, separuh
dijadikan alas tidur, dan separuhnya lagi untuk selimut…" Kata Hafshah.
Umar kemudian berkata,
"Sekarang pergilah, katakan pada mereka Rasulullah telah mencontohkan pola
hidup seperti ini dan aku mengikuti beliau. Nabi SAW, Abu Bakar dan aku
bagaikan tiga orang musafir yang menempuh suatu jalan. Musafir pertama telah
sampai dengan perbekalannya, musafir kedua telah mengikuti jejak musafir
pertama. Dan yang ketiga ini baru saja memulai perjalanannya, kalau ia
mengikuti jejak keduanya, ia akan sampai kepada mereka, jika tidak maka ia
tidak akan pernah bertemu mereka lagi."
No comments:
Post a Comment