Ketika
Nabi SAW memobilisasi pasukan ke Tabuk, ada beberapa orang tertinggal atau
tidak mengikuti beliau dalam pertempuran tersebut. Sebagian besar memang
orang-orang yang tertuduh sebagai kaum munafik, mereka ini berjumlah sekitar
delapan puluh orang. Ada juga sejumlah sahabat yang tidak memperoleh tunggangan
dan perbekalan untuk berangkat, seperti sekelompok sahabat yang dipimpin
Abdullah bin Ma'qil al Muzanni. Termasuk juga sepuluh orang dari Bani Muqrin.
Mereka ini datang kepada Nabi SAW, tetapi beliau tidak memiliki apa-apa lagi
untuk bisa memberangkatkan mereka, baik kendaraan atau perbekalan. Mereka
pulang dengan berlinang air mata karena tidak bisa menyertai beliau berjihad.
Namun demikian ada enam atau tujuh sahabat lainnya, yang tertinggal karena
berbagai alasan yang tidak tepat, namun mereka menyadari kesalahannya ini,
antara lain adalah Abu Lubabah.
Setelah
beberapa hari berlalu sejak Nabi SAW dan pasukannya meninggalkan Madinah menuju
Tabuk, Abu Lubabah beserta tiga (atau dua, dalam riwayat lainnya) temannya
menyadari kesalahannya. Mereka menyesal, tetapi tidak mungkin untuk mengejar
atau menyusul pasukan tersebut. Abu Lubabah berkata, "Kita di sini berada
di naungan pohon yang sejuk, hidup tentram bersama istri-istri kita, sedangkan
Rasulullah beserta kaum muslimin sedang berjihad…sungguh, celakalah
kita…."
Tak
habis-habisnya mereka menyesal, mereka yakin bahwa bahaya akan menimpa karena
ketertinggalannya ini. Untuk mengekspresikan penyesalannya ini, Abu Lubabah
berkata kepada kawannya, "Marilah kita mengikatkan diri ke tiang masjid,
kita tidak akan melepaskan diri kecuali jika Rasulullah sendiri yang
melepaskannya…!!"
Teman-temannya,
Aus bin Khudzam, Tsa'labah bin Wadiah dan Mirdas (atau tanpa Mirdas, pada
riwayat dua orang temannya) menyetujui usulan ini. Mereka tetap terikat pada
tiang tersebut sampai Nabi SAW pulang, kecuali ketika mereka akan melaksanakan
shalat. Ketika Nabi SAW pulang dari Tabuk dan masuk ke Masjid, beliau berkata,
"Siapakah yang diikat di tiang-tiang masjid itu?"
"Abu
Lubabah dan teman-temannya yang tidak menyertai engkau berjihad, ya
Rasulullah," Kata seorang sahabat, "Mereka berjanji tidak akan
melepaskan diri, kecuali jika tuan yang melepaskannya…!!"
Nabi
SAW bersabda, "Aku tidak akan melepaskan mereka kecuali jika mendapat
perintah dari Allah…!!"
Dalam
riwayat lain disebutkan, bahwa Nabi SAW bersabda tentang mereka, "Aku
tidak akan melepaskannya sampai saatnya ada pertempuran lagi…!!" Suatu
hari menjelang subuh, ketika itu Nabi SAW sedang berada di rumah Ummu Salamah,
tiba-tiba beliau tertawa kecil. Ummu Salamah heran dengan sikap beliau ini dan
berkata,
"Apa
yang engkau tertawakan, Ya Rasulullah?"
"Abu
Lubabah dan teman-temannya diterima taubatnya…!!" Kata Nabi SAW.
Saat
itu Nabi SAW memang menerima wahyu, Surah Taubah ayat 102, yang menegaskan
diterimanya taubat mereka yang berdosa karena ketertinggalannya menyertai jihad
bersama Nabi SAW. Ummu Salamah berkata, "Bolehkah aku memberitahukan
kepada Abu Lubabah, ya Rasulullah..?" "Terserah engkau saja..!!"
Kata Nabi Muhammad SAW.
Ummu
Salamah berdiri di depan pintu atau jendela kamarnya yang memang menghadap
masjid dan berkata, "Hai Abu Lubabah, bergembiralah karena telah diampuni
dosamu, telah diterima taubatmu…!!"
Mereka
bergembira, begitu juga dengan para sahabat yang telah berkumpul di masjid
untuk shalat shubuh. Mereka ini ingin melepaskan ikatan Abu Lubabah dan
teman-temannya, tetapi Abu Lubabah berkata, "Tunggulah sampai datang
Rasulullah dan melepaskan sendiri ikatanku…!!" Nabi SAW masuk masjid dan
melepaskan sendiri ikatan-ikatan mereka. Pagi harinya, Abu Lubabah dan tiga
temannya menghadap Nabi SAW sambil membawa harta yang dipunyainya. Ia berkata,
"Ya Rasulullah, inilah harta benda kami, shadaqahkanlah atas nama kami,
dan tolong mintakan ampunan bagi kami…."
Nabi
SAW bersabda, "Aku tidak diperintahkan untuk menerima harta sedikitpun
(berkaitan dengan penerimaan taubat ini)…!!" Tetapi tak lama berselang,
Nabi SAW memperoleh wahyu, Surah Taubah ayat 103, yang memerintahkan agar
beliau untuk menerima shadaqah dari Abu Lubabah dan teman-temannya, dan
mendoakan mereka. Beliau melaksanakan perintah ayat tersebut, dan itu membuat
Abu Lubabah dan teman-temannya menjadi lebih gembira dan tentram hatinya.
Riwayat
lain menyebutkan, peristiwa Abu Lubabah mengikatkan diri di tiang Masjid Nabi
bukan berkaitan dengan Perang Tabuk, tetapi dengan Perang Bani Quraizhah.
Setelah
berakhirnya Perang Khandaq (parit) atau Perang Ahzab karena pasukan kaum kafir
Quraisy dan sekutu-sekutunya diporak-porandakan oleh angin dan badai di waktu
subuh, Nabi SAW dan kaum muslimin segera kembali ke Madinah. Angin dan badai
tersebut sebenarnya adalah pasukan malaikat yang dikirim Allah untuk membantu
kaum muslimin, dan di waktu dhuhur, Jibril yang menjadi pimpinan pasukan
malaikat menemui Nabi SAW sambil berkata, “Wahai Muhammad, mengapa engkau
meletakkan senjata sedangkan kami belum meletakkan senjata. Serulah mereka
untuk menuju Bani Quraizhah, dan kami akan berada di depanmu. Akan aku
guncangkan benteng mereka dan aku susupkan ketakutan di hari mereka…!!” Bani
Quraizhah adalah kaum Yahudi di Madinah yang terikat perjanjian damai dan
kerjasama dengan Nabi SAW dalam Piagam Madinah. Tetapi ketika terjadi
pengepungan Madinah oleh pasukan kafir Quraisy dan sekutunya, mereka justru
berpihak kepada pasukan musuh dan memasok kebutuhan makanannya. Mereka juga
berencana menyerang penampungan kaum wanita dengan mengirim seorang mata-mata
terlebih dahulu. Untung saja, berkat keberanian bibi Rasulullah SAW, Shafiyyah
binti Abdul Muthalib, mereka membatalkan rencananya itu. Shafiyah berhasil
membunuh mata-mata tersebut dan menggelindingkan mayatnya ke arah pasukan Bani
Quraizhah yang siap menyerang, karena itu mereka beranggapan bahwa ada pasukan
muslim yang menjaga para kaum wanitanya, padahal tidak ada.
Segera
saja Nabi SAW memerintahkan Bilal untuk menyerukan panggilan jihad, “Siapa saja
yang tunduk dan patuh, janganlah melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani
Quraizhah!!”
Dalam
kondisi baru tiba (pulang) setelah mempertahankan diri dari pengepungan kaum
kafir Quraisy dan sekutunya selama satu bulan, ternyata tidak mudah untuk
mengumpulkan seluruh pasukan. Karena itu Nabi SAW memerintahkan agar mereka
yang telah siap, walau dalam kelompok yang kecil, agar segera berangkat.
Kelompok demi kelompok akhirnya berkumpul di tempat Bani Quraizhah ketika telah
menjelang waktu isya’, dan pada saat itulah mereka melaksanakan shalat ashar
sesuai perintah Nabi SAW.
Kaum
muslimin melakukan pengepungan selama beberapa hari lamanya, dan akhirnya
pemimpin Bani Quraizhah, Ka’b bin Asad mengirim utusan kepada Nabi SAW sebagai
tanda menyerah. Tetapi mereka juga meminta Nabi SAW mengirim Abu Lubabah untuk
melakukan pembicaraan dan mendengar pendapatnya. Abu Lubabah memang sekutu
terbaik kaum Yahudi Bani Quraizhah sebelum Islam datang, bahkan saat itu harta
kekayaan dan anak Abu Lubabah ada yang masih tinggal (tertinggal) di wilayah
kaum Yahudi tersebut. Dan ternyata, dalam situasi yang seperti itu Nabi SAW
memenuhi permintaan mereka.
Ketika
Abu Lubabah memasuki benteng dan perkampungan Bani Quraizhah, mereka
mengelu-elukan dirinya, para wanita dan anak-anak menangis di hadapannya. Hal
itu membuat Abu Lubabah terharu dan merasa kasihan. Ka’b berkata, “Wahai Abu
Lubabah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad??”
“Begitulah!!”
Kata Abu Lubabah, tanpa sadar ia memberi isyarat dengan tangannya yang
diletakkan di lehernya, isyarat bahwa mereka akan dihukum mati. Mungkin karena
suasana yang dilihatnya atau rasa kedekatannya selama ini yang membuat ia
bersikap seperti itu. Tetapi seketika itu ia menyadari apa yang dilakukannya,
yang sama artinya bahwa ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Tanpa bicara
apa-apa lagi ia berlari keluar, bukannya kembali menghadap Nabi SAW, tetapi
menuju masjid Nabawi dan mengikatkan dirinya di tiang masjid sembari bersumpah
tidak akan pernah memasuki Bani Quraizhah, dan juga tidak akan melepaskan
ikatannya kecuali Nabi SAW sendiri yang melepaskannya.
Rasulullah
SAW menunggu-nunggu kedatangan Abu Lubabah, karena tidak datang juga, beliau
mengirimkan seorang utusan lainnya. Setelah mendengar tentang apa yang
dilakukannya, beliau bersabda, “Andaikata ia datang kepadaku, tentu aku akan
memaafkannya. Tetapi karena ia telah berbuat seperti itu (yakni dengan diikuti
sumpah), maka aku tidak bisa melepaskannya kecuali jika ia benar-benar
bertaubat kepada Allah!!” Selanjutnya sama dengan kisah di atas.
No comments:
Post a Comment